Gejayan Memanggil Gelar Lomba Mural, Gambar yang Cepat Dihapus Aparat Dapat Nilai Lebih
Banyak mural dihapus, lomba mural Digelar di Yogyakarta, dapat nilai lebih jika cepat dihapus aparat
TRIBUNBANTEN.COM - Belakangan ini mural atau gambar dengan media dinding tengah menjadi sorotan masyarakat.
Pasalnya sebagian besar mural yang dibuat di sejumlah wilayah tak berumur panjang karena dihapus aparat.
Aparat menggunakan berbagai alasan untuk menghapus mural-mural bertuliskan keresahan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, aksi "Gejayan Memanggil" mengajak para seniman untuk mengikuti lomba mural.
Dilansir dari Kompas.com, Humas lomba mural "Gejayan Memanggil" Mimin Muralis menyampaikan, mural atau gambar adalah kebudayaan yang dialami oleh manusia saat mulai anak-anak.
Penghapusan atau pemberangusan karya mural adalah sebagai bentuk kekeliruan penguasa atau orang dewasa.
“Coret-coretan di tembok adalah cara-cara ketika kebebasan bersuara terbatas dan sekarang coretan itu pun dibatasi,’ katanya saat dihubungi, Selasa (24/8/2021).
Baca juga: Polri Pastikan Tidak Proses Hukum Kasus Mural 404: Not Found, Irjen Argo: Itu Bentuk Ekspresi!
Dia menambahkan, dengan maraknya penghapusan mural yang terjadi di beberapa daerah pihaknya melihat bahwa generasi sekarang merupakan generasi yang tertekan dengan kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.
“Kami berusaha melihat generasi sekarang yang tertekan dengan kebijakan pemerintah menangani pandemi dengan cara otoriter,” ungkapnya.
Langkah penghapusan mural atau gambar di dinding yang diambil oleh pemerintah ini dinilai keliru.
Menurut Mimin, seharusnya gambar-gambar yang tersaji di jalanan ini mendapatkan apresiasi seperti yang dilakukan oleh bangsa Eropa.
“Kita lihat negara-negara Eropa dalam mereformasi politiknya dan negara-negara post kolonial yang merdeka, mereka banyak bertebaran mural-mural yang sifatnya membangun meskipun itu dianggap kritis dan mengancam para politisi,” jelas dia.
Bahkan sekarang ini mural di berbagai negara justru digunakan sebagai daya tarik wisata, sedangkan di Indonesia justru sebaliknya mural dianggap kriminal.
Pihaknya juga menyayangkan banyaknya baliho yang menjadi sampah visual justru dinilai sebagai representasi suara rakyat.
“Padahal itu suara oligarki yang punya uang untuk menyewa papan reklame dan memprinting spanduk banner yang merusak pemandangan kita secara estetik dan politik,” kata dia.