Gugatan Presidential Threshold 0%, Setiap Parpol Berhak Mengajukan Capres & Cawapres di Pilpres 2024

Jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024, muncul perdebatan soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

Editor: Glery Lazuardi
Tribunnews/Jeprima
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) 

TRIBUNBANTEN.COM - Jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024, muncul perdebatan soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur ihwal presidential threshold sebesar 20 persen.

Namun, presidential threshold dinilai tak lagi relevan digunakan untuk pesta demokrasi lima tahunan mendatang.

Uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 12 kali.

Namun, hasilnya hingga kini belum ada uji materi itu yang diterima oleh majelis hakim konstitusi.

Baca juga: Hasil Survey Pilpres 2024: Prabowo Unggul Pertama Sebanyak 93 Persen, Bagaimana Anies dan Ganjar?

Pada awal Desember lalu, Ferry Yuliantono menggugat UU Pemilu ke MK agar presidential threshold atau ambang batas presiden dari 20 persen menjadi 0 persen. Sebab, aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.

Selain itu, Partai Demokrat menilai aturan ambang batas pencalonan presiden sebaiknya tak lagi dipakai saat Pilpres 2024 mendatang.

"Harusnya secara konstitusional ambang batas pencalonan tidak relevan lagi dijadikan sebagai syarat pencalonan mengingat hasil Pileg dan Pilpres 2024 belum diketahui hasilnya," kata Wasekjen Partai Demokrat Irwan Fecho dalam keterangan tertulis, Rabu (22/12/2021).

Menurut dia, jika menggunakan hasil pemilu 2019, justru alasan presidential threshold untuk penguatan sistem presidential tidak cocok karena hasil pemilu atau resultan politik akan berbeda.

"Selanjutnya, fakta politik juga menunjukkan dalam beberapa pemilu terakhir, justru pembentukan koalisi pemerintahan dapat terjadi setelah pileg dan pilpres selesai. Presiden terpilih mendapatkan tambahan dukungan dari parlemen setelah pemilu usai," ujarnya.

Ia menjelaskan, paling mutakhir, justru yang berlawanan dalam Pilpres 2019 menjadi sekutu pasca pemilu dan menjalankan pemerintahan bersama-sama.

"Disitulah inti penguatan kabinet presidensial, bukan pada saat proses kandidasi atau pencalonan," ujarnya.

Ia menyebut, dari pengalaman politik dan konstitusi yang termutakhir harusnya tidak ada lagi presidential threshold.

"Dengan pemilu yang serentak, setiap partai politik peserta pemilu harusnya memiliki hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden."

"Disitulah ada jaminan dan perlindungan terhadap hak untuk memilih dan dipilih setiap partai politik dan warga negara," katanya.

Baca juga: Hubungan Makin Hangat, Muzani Ungkap Peluang Gerindra-PDIP Berkoalisi di Pilpres 2024: Tunggu Waktu

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved