Sejarah Menara Masjid Agung Banten: Arsiteknya Orang Tionghoa, Awalnya Berbentuk Kotak
Menara Masjid Agung Banten menggambarkan perpaduan kekayaan budaya Indonesia dan bentuk akulturasi.
Laporan Wartawan TribunBanten.com, Siti Nurul Hamidah
TRIBUNBANTEN.COM, SERANG – Menara Masjid Agung Banten di kawasan Banten Lama, Kota Serang, menjadi daya tarik bagi peziarah untuk berfoto.
Menara Masjid Agung Banten berbentuk segi delapan ini memiliki diameter 10 meter dengan tinggi 23 meter yang dihitung dari dasar hingga ujung mastaka.
Mastaka adalah hiasan atau ornamen berwarna merah yang terletak di ujung atau puncak menara.
Baca juga: Dalam Waktu Semalam, Warga Pekijing Kota Serang Bikin Miniatur Masjid Agung Banten dari Bambu
Ketua Unit Museum Situs Kepurbakalaan Banten, Siti Rohani, mengatakan bangunan menara segi delapan merujuk pada arah mata angin.
Yaitu utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, dan barat laut.
"Dalam buku Anthony Reid berjudul 'Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680', menyebutkan Banten sebagai satu di antara negeri di bawah angin," katanya kepada TribunBanten.com di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, Jumat (9/9/2022).
Banten sebagai negeri di bawah angin diartikan sebagai negeri yang termansyur dan besar karena kotanya sudah tertata sedemikian rupa.
Kehidupan rakyatnya makmur dengan segala keahlian dan berbagai bentuk mata pencaharian penduduknya.
Kompleks Masjid Agung Banten didirikan Sultan Maulana Hasanuddin pada 1552-1570.
Menurut Siti, menara masjid dibangun pada masa Sultan Maulana Yusuf, putra Sultan Maulana Hasanuddin.
Sultan kedua Kesultanan Banten itu mulai membangun menara pada 1570-an dibantu arsitek Tionghoa bernama Tjek Ban Tjut.
Baca juga: Spot-spot Instagramable di Masjid Agung Banten, Jadi Daya Tarik Pengunjung untuk Selfie
Sultan Maulana Yusuf merupakan sosok yang penting dalam kemajuan Kesultanan Banten.
Periode pemerintahannya (1570-1580) merupakan fase awal kota metropolitan Banten dibantuk dan maju.
Pada awalnya, Menara Masjid Agung Banten berbentuk kotak seperti menara masjid di Kasunyatan.
Pada masa Sultan Abu Nasar Abdul Qohar, bangunan menara dirancang kembali dan diubah dengan bantuan Hendrik Lucas Cardeel, arsitek keturunan Portugis berkebangsaan Belanda.

"Cardeel merancang bangunan menjadi segi delapan. Jika dilihat sekilas, menara ini bentuknya seperti pagoda di Thailand, sedikit miring," ujar perempuan yang akrab disapa Hani ini.
Menara Masjid Agung Banten menggambarkan perpaduan kekayaan budaya Indonesia dan bentuk akulturasi.
Hal ini dapat dilihat pada ornamen atau hiasan menara.
Secara gaya bangunan, Menara Masjid Agung Banten ini bergaya arsiteksur doric atau gaya Eropa.
Adapun mastaka yang terletak di puncak menara berwarna merah, khas warna etnis Tionghoa.
Penggunaan warna merah ini dapat dikatakan bentuk pengaruh Tionghoa, serta dapat diartikan sebagai sebuah keberanian dan kekuatan.
Baca juga: Menara Masjid Jami Ar-Ruhama Pandeglang Mirip Masjid Agung Banten, Pernah Direnovasi pada Abad Ke-19
Adapun warna dasar menara sejak lama digunakan sebagai warna dominannya adalah putih yang mengandung arti bersih atau suci.
Pewarnaan putih pada masa lalu adalah dengan menggunakan kapur putih.
Bangunan-bangunan di sekitar kawasan Banten lama ini sebagaimana dalam babad Banten disebutkan satu istilah gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis.
Artinya, membangun kota dan perbentengan dengan menggunakan batu bata dan batu karang.
Penggunaan bahan-bahan tersebut di menara masih bisa dilihat pada bagian anak tangga menara.
Susunan anak tangga menara untuk menuju puncak adalah batuan karang dengan perekat pasir, kapur atau tanah lempung.
Baca juga: Kawasan Masjid Agung Banten Lama Diterjang Banjir, Kopassus Turun Tangan Mengevakuasi Warga
"Bahan-bahan alam yang seperti ini lebih tahan lama dan kuat dibandingkan material bangunan zaman sekarang, bisa dilihat pada Keraton Surosowan yang masih ada peninggalannya," ucap Hani.
Batu bata dan batu karang mendominasi bangunan menara dibandingkan batuan andesit sebagai fondasi di bagian dasar.
Pada abad 16 dan 17, perekat bangunan menggunakan pasir, tanah lempung, kapur, dan lendir-lendir kerang laut.
Selain itu, juga kulit kerang yang ditumbuk dan diberi air yang menjadi bahan perekat bangunan.
"Batuan tangga untuk menuju puncak menara itu disusun seperti itu dengan perekat alami," kata Hani.
Menara Masjid Agung Banten dilengkapi dengan delapan ventilasi udara untuk cahaya atau sirkulasi udara.
Masing-masing bentuk ventilasi mirip tanda plus dengan gerigi berjumlah delapan kotak.
Di dalam Menara Masjid Agung Banten memiliki lebar sekitar 30 sentimeter dan tangganya hanya bisa dilalui satu orang.
Kondisi tangga menara berlekuk memutar mengikuti bentuk menara dan berkelok tajam.
Di dalamnya tidak ada lampu penerangan, hanya mengandalkan delapan ventilasi yang ada pada menara.
Pintu masuk menara menghadap utara karena terdapat jembatan rantai yang digunakan sebagai tempat pemungutan pajak pada masa kesultanan.
Ketika kapal-kapal akan lewat di jembatan, orang harus membayar pajak terlebih dahulu.
Menurut Hani, kemungkinan di bagian utara ini merupakan pintu masuk utama ke dalam masjid dari arah laut dan kanal.
Baca juga: Meski Ditutup, Masih Ada Warga yang Berziarah di Kawasan Masjid Agung Banten Lama
Di bagian barat menara, terdapat masjid, pendopo masjid, dan tiamah.
Di bagian timur menara terdapat Istana Surosowan sekaligus sebagai istana yang dilengkapi dengan paseban dan juga pasar pada saat itu.
Di bagian selatan menara terdapat aliran-aliran kanal yang banyak dilalui perahu-perahu atau sampan-sampan kecil.
Ada 99 anak tangga dengan dua teras di Menara Masjid Agung Banten.
Teras pertama berukuran paling besar dengan diameter delapan meter, dan yang kedua berdiameter lima meter.
Dari dasar menara untuk sampai ke teras pertama harus melewati 80 anak tangga.
Dari teras pertama ke teras kedua harus melewati 19 anak tangga.
Anak tangga yang berjumlah 99 melambangkan nama-nama Allah Subhanahuwataala.
Menurut Hani, ketika menaiki tangga menara untuk sampai ke teras pertama dan kedua, sebaiknya sembari menyebut nama-nama Allah.
"Namun, setelah renovasi pada 2019, menara sudah tidak lagi dibuka untuk umum. Terakhir dibuka untuk umum adalah pada 2018," ucap Hani.
Saat ini, Menara Masjid Agung Banten diurus Badan Kenadziran Kesultanan Maulana Hasanuddin Banten.