Kunci Jawaban

KUNCI JAWABAN Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 116, Temukan Arti Asperger Syndrom, Eksentrik & Etos

Kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 SMA/SMK Kurikulum Merdeka. Temukan arti kosakata di bawah ini dengan menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Penulis: Vega Dhini | Editor: Vega Dhini
Buku Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI
Hatarakibachi Karya Awit Radiani. Kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 SMA/SMK Kurikulum Merdeka halaman 111, 112, 113, 114, 115, 116. 

Hatarakibachi
Karya Awit Radiani

BAHASA Inggris dengan pengucapan payah petugas bandara membuat aku semakin sakit kepala. Sebenarnya aku enggan datang ke negeri ini. Tapi Satoshi-san mengirim undangan kehormatan kongres seni budaya Asia, yang mewajibkanku hadir. Atau aku dianggap tak menghargai hubungan baik antarnegara. Angin musim semi
mengibarkan ujung rambutku. Kesejukan Tokyo ramah menyambut. Sebuah airport limousine menghampiri, membuka pintu, dan membawaku ke Tobu Levant di Sumida-ku. Daerah pinggiran kota itu ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Aku sedikit mual, mabuk perjalanan. Penyakit kampungan yang menunjukkan asal-usulku. Seniman kampung yang tiba-tiba menjadi duta seni mewakili negaraku. Sebenarnya aku tak siap dengan perjalanan ini.

Di sepanjang jalan kulihat banyak kedai makanan yang membuatku sumringah. Aku ingin mencoba semuanya. Mencicipi sushi asli di tempat asalnya. Pengalaman yang tak bisa dinikmati setiap hari. Dari jendela kamar 1820, Tokyo Sky Tower berdiri menusuk langit. Ah, lagi lagi sebuah menara landmark kota yang pamer ketinggian. Aku selalu menemukan bangunan seperti itu di setiap negara yang kukunjungi. Menara-menara yang saling adu tinggi, semuanya menyuguhkan pengalaman yang sama. Pemandangan kota dari tempat tinggi atau bentuk khas dari menara itu sendiri.

Bila berdiri di bawahnya takkan terlihat ujungnya, bila naik ke puncak tak terlihat pangkalnya. Terasa angkuh tak tersentuh, butuh waktu lama untuk memahami seluk-beluknya. Tahun lalu saat liburan ke China, aku tersesat di Shanghai TV Tower saat mencari toilet. Hal memalukan yang tak mungkin terjadi di Tugu Yogya. Landmark yang lugu, sederhana, akrab, dan merakyat. Dalam sekali pandang akan terlihat pangkal dan ujung sekaligus. Bisa dipeluk, dicium, diusap sebagai kenangan.

Aku meluruskan kaki di ofuro. Air hangat beraroma bunga merendam lelahku. Di depan cermin kulihat sabun bermerek sama dengan yang di toilet bandara. Aku geleng kepala. Merek Jepang memang ada di mana-mana. Di seberang hotel aku pun melihat papan nama restoran dengan brand yang sama seperti di Jakarta. Produk Jepang benar-benar menguasai dunia. Lalu apa yang akan kunikmati di sini? Semuanya ada di Indonesia.

Selesai mandi aku jalan-jalan seorang diri. Berbekal peta dan buku percakapan bahasa Jepang. Tak lupa kartu nama hotel terselip di saku. Berani bertanya tetap sesat di jalan. Karena orang Jepang sulit berbahasa Inggris. Daripada bingung tak bisa kembali ke hotel, aku berjalan hanya sampai Kinshi-co, stasiun kereta. Lima menit jalan santai dari hotelku. Kaki-kaki manusia Jepang begitu cepat berjalan. Semuanya menyalip langkahku. Tak ada wajah yang bisa kuamati dengan jelas karena semuanya begitu bergegas. Sebentar saja tinggal punggung yang semakin menjauh. Keluar masuk gerbang stasiun seperti kerumunan hatarakibachi di mulut chikatetsu, kutu pekerja yang keluar masuk lorong kereta bawah tanah.

“Benar-benar seperti menyeret kambing ke air membujuk Endo menemuimu.” Satoshi menuang sake ke gelasku. Lalu mengangkat gelasnya, “Kampai!” Mengajak seluruh peserta kongres minum. Kuteguk sedikit saja, sekadar penghormatan pada tuan rumah. Tak lama rasa hangat naik ke muka. Wajahku memerah. Tapi tak semerah Satoshi, ia menenggak sakenya sekaligus. Orang Jepang minum untuk menghilangkan lelah dan stres karena pekerjaan. Minum sampai mabuk diperbolehkan asal tak mengganggu orang. Beda di kampungku, orang minum karena tak ada pekerjaan lalu mengganggu orang.

“Ikki! Ikki!” Teriakan mengajak kosongkan gelas terlontar. Tawa dan omongan ngawur mulai terdengar. Aku merasa tak nyaman. Perempuan dalam kumpulan lelaki mabuk tidaklah aman. Diam-diam kutinggalkan bilik restoran hotel tempat jamuan makan malam, hendak kembali ke kamarku. Pintu lift terbuka sebelum aku memencet tombol. Sosok yang sangat kukenal keluar dari dalam kamar angkut itu. Lalu kami saling bertatapan hingga pintu lift menutup. Aku tak jadi naik dan lelaki itu terpaku di depanku. Endo!

“Apa kabar? Aku mencarimu di atas.” Endo berkata dalam bahasa Indonesia berlogat Jepang. Melakukan ojigi, membungkuk dalam-dalam. Yang segera kubalas dengan gerakan yang sama. Lalu ia mengajak duduk-duduk di lobby. Setelah obrolan basa-basi kami sepakat jalan keluar hotel.

“Kau harus merasakan dengan kulitmu sendiri udara malam kampung halamanku, Nina-chan.” Aku tersenyum, dulu aku pun pernah mengajakmu semalam suntuk menjelajah Malioboro sampai Prawirotaman. Boncengan dengan sepeda onthel tua yang disewa dari rental sepeda. Makan di lesehan, lalu bercengkerama di perempatan titik nol. Di antara Benteng Vredeburg, Gedung Agung, kantor pos, dan bank negara, bangunan tua peninggalan Belanda yang masih kokoh hingga kini. Endo menggombal bahwa ia punya cinta seawet gedung-gedung itu. Aku sedikit mengejek. Mengawetkan cinta butuh formalin seberapa? Sementara memelihara kasih yang ada pun malas-malasan.

“Kenapa kau tak ikut makan malam?” Tanyaku dalam langkah pertama di luar hotel. Lelaki muda itu menunduk. Poni lurus hitamnya jatuh menutupi mata. “Kau merekomendasikan namaku pada Satoshi agar aku bisa mengikuti kongres budaya ini, tapi kau sendiri tak hadir.” Sejak awal aku merasa kurang layak berada di dalam kumpulan seniman-seniman besar Asia itu. Karyaku belum ada apa-apanya. Aku curiga Endo melakukan rekayasa. Entah bagaimana sehingga namaku terpilih. Begitu banyak nama besar dengan jam terbang tinggi yang lebih pantas diundang daripada aku. Di kotaku aku masih dianggap anak kemarin sore. Rasanya aneh dihormati dengan segala fasilitas kelas satu. Sementara di negeri sendiri belum diakui.

“Aku merekomendasikan beberapa nama, mereka yang memilih. Aku tak punya kuasa untuk mempengaruhi mereka. Tapi menurut Satoshi karena kau cantik. Dan aku setuju.” Endo tertawa sambil meraih tanganku. Kutepis dengan segera. Baru bertemu sudah merayu! Aku tak suka kata-kata Endo. Jika tak memenuhi kualifikasi tak perlu dipaksa. Apalagi bila dinilai dari fisik semata. Aku tak mau jadi wanita pemenuh kuota! Sebuah hinaan atas karya perempuan. Di negara semaju ini kesetaraan pun masih berjalan timpang. Mana ada karya diukur dari tampang!

“Jangan cemberut, kau seniwati muda berbakat. Tak perlu inferior pada yang lebih berumur. Lebih tua belum tentu lebih bagus. Hanya lebih dulu eksis saja. Soal pengalaman bisa dipelajari. Kau sangat produktif dan pantas dipertimbangkan. Asal tahu saja kami memiliki kurator terbaik di dunia. Dan mereka takkan mendengarku walau aku berteriak dari menara Tokyo.” Aku merasa lega dengan penjelasan Endo.

Kami memasuki shokudo, memesan semangkuk ramen. Endo mengambil dua pasang hashi. Diberikan sepasang padaku. “Ayo makan berdua seperti di angkringan.” Endo tertawa, tawa yang seperti boneka. Menguak kenangan lama. Kuakui pernah ada saat indah bersamanya. Saat kami masih saling cinta. Tapi aku tak yakin mampu hidup rukun beradu kulit dengan orang asing. Endo menuangkan soyu banyak banyak. Aku tak suka kecap asin itu. Lidahku terbiasa dengan kecap manis sejak kecil. Ah, selalu saja ada bahan pertentangan di antara kami.

Pemuda Machida itu lahap menyeruput mi. Ia tampak begitu lapar. Keheranan aku bertanya, “Kalau kau selapar itu mengapa tak makan malam bersama yang lain?” Endo pun peserta kongres, ia punya jatah makan malam yang sama dengan kami. Kuletakkan sumpit bambu yang tak kubuka kertas pembungkusnya di meja. Tak kuterima tawaran makan Endo. Aku masih kenyang dan tak punya minat untuk beromansa dengannya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved