Kunci Jawaban

Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 10, Jelaskan Apa yang Dimaksud Dapat Bebas Dekat dengan Rakyat

Jelaskan apa yang dimaksud dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara isik maupun hatinya dalam teks tersebut!

Penulis: Vega Dhini | Editor: Vega Dhini
Kemdikbudristek, 2023
ILUSTRASI KUNCI JAWABAN- Soal maksud dari dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara isik maupun hatinya dalam teks Biografi Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya buku Bahasa Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X (Edisi Revisi) halaman 177, Kurikulum Merdeka. (Kemdikbudristek, 2023) 

TRIBUNBANTEN.COM - Pada pembahasan kunci jawaban Bahasa Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas 10 (Edisi Revisi), Bab V Memetik Keteladanan dari Biografi Tokoh Inspiratif, simak soal Latihan pada halaman 177.

Pada halaman 177, siswa diminta menjawab soal nomor 1 setelah membaca teks "Biografi Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya" berikut ini.

"1. Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan dan nama pemberian orang tuanya agar dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara isik maupun hatinya. Jelaskan apa yang dimaksud dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara isik maupun hatinya dalam teks tersebut!"

Biografi Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya

Nama Ki Hadjar Dewantara bukanlah nama pemberian orang tuanya sejak lahir. Nama aslinya ialah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Saat berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, barulah ia berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak itu, Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan dan nama pemberian orang tuanya agar dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara isik maupun hatinya.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Europeesche Lagere School (ELS), Ki Hadjar Dewantara melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen). Namun, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di sekolah ini karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan.

Ki Hadjar Dewantara kemudian serius menggeluti dunia jurnalistik. Ia berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah, seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-politik kaum Bumiputra kepada penjajah. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai penulis andal. Tulisannya komunikatif, halus, mengena, tetapi keras.

Saat terjadi kebuntuan proses perolehan status hukum Idische Partij, muncullah brosur berjudul Als ik eens Nederlander was (Andaikata aku seorang Belanda). Brosur yang ditulis Ki Hadjar Dewantara itu beredar di masyarakat. Isi tulisannya merupakan ungkapan hati seandainya ia adalah orang Belanda, ia akan memprotes gagasan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda di wilayah koloni.

Baca juga: 12 Kepala Daerah di Riau Bakal Retret di Akademi Militer Setelah Dilantik Prabowo, Kecuali Siak

Pada tanggal 28 Juli 1913, Ki Hadjar Dewantara menerbitkan tulisan selanjutnya berjudul Een voor allen, mar ook allen voor een (Satu untuk Semua, tetapi juga Semua untuk Satu). Tulisan ini berisi tentang penegasan dirinya bahwa tulisan sebelumnya merupakan releksi apa yang dipikirkannya selama ini. Ia yakin bahwa semua penduduk Bumiputra memiliki perasaan dan pemikiran yang sama dengan dia.

Tulisan keduanya ini menambah runcing hubungan antara Komite di Bandung dan pemerintah kolonial.

Melihat kenyataan bahwa tulisan kedua itu benar-benar telah menghina pemerintah kolonial Belanda, pada tanggal 30 Juli 1913, Ki Hadjar Dewantara ditangkap polisi di rumahnya dan langsung ditahan. Beberapa saat kemudian, ia diasingkan ke Bangka, tetapi ia meminta agar diizinkan untuk tinggal di negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya bersama rekan-rekan seperjuangannya, yaitu Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran sehingga ia berhasil memperoleh Europeesche Akte.

Ki Hadjar Dewantara akhirnya kembali ke tanah air pada tahun 1918. Di tanah air, ia makin mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada tanggal 3 Juli 1922.

Taman Siswa merupakan lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk dapat memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air serta berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Ki Hadjar Dewantara juga menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita), tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya).

Pada tanggal 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia dan dimakamkan di Yogyakarta. Untuk mengenang jasa-jasa dan melestarikan nilai-nilai semangat perjuangannya, para penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Selain itu, tanggal dan kelahirannya, 2 Mei, dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional. Bahkan, pada 28 November 1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959.  (Sumber: Wiryopranoto dkk., Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya, 2017 dengan pengubahan seperlunya)

Setelah menyimak teks biograi tersebut, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut.

Halaman
12
Sumber: Tribun Banten
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved