Opini

Pinjam Bendera Perusahaan Lain Dalam Dunia Kontraktor, Ketahui Risiko Hukum dan Perpajakan

Meski terlihat sebagai solusi praktis, kebiasaan pinjam bendera menyimpan banyak risiko, baik dari sisi hukum maupun perpajakan

Editor: Wawan Perdana
AI Gemini
KONTRAKTOR-Foto ilustrasi hasil olahan AI Gemini. Dalam dunia kontraktor kerap muncul satu kebiasaan yang kerap dijadikan jalan pintas yakni pinjam bendera perusahaan lain. 

Penulis : Septariyansyah, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Banten

Dalam dunia konstruksi, terutama proyek-proyek pemerintah, persaingan untuk memenangkan tender semakin ketat. 

Pemerintah sebagai pemilik proyek menetapkan berbagai syarat-syarat administratif dan teknis yang cukup kompleks, mulai dari Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU), hingga rekam jejak pengalaman proyek. 

Bagi kontraktor kecil atau pemula, hal ini menjadi tantangan besar.

Di tengah tekanan tersebut, muncul satu kebiasaan yang kerap dijadikan jalan pintas: pinjam bendera. 

Meski terlihat sebagai solusi praktis, kebiasaan ini menyimpan banyak risiko, baik dari sisi hukum maupun perpajakan.

Pinjam bendera adalah kebiasaan menggunakan identitas perusahaan lain untuk mengikuti tender proyek. 

Biasanya dilakukan oleh kontraktor yang belum memiliki kelengkapan dokumen usaha atau pengalaman proyek yang memadai.

Dengan menggunakan identitas perusahaan lain yang telah memenuhi syarat, mereka berharap bisa lolos seleksi administrasi dan memenangkan proyek.

Setelah proyek dimenangkan, pelaksanaan pekerjaan dilakukan sepenuhnya oleh pihak peminjam. 

Sementara itu, perusahaan pemilik bendera hanya berperan sebagai “penjaga nama” dan menerima imbalan berupa fee atau bagian dari keuntungan proyek.

Sayangnya, kesepakatan ini sering kali dilakukan secara informal tanpa kontrak tertulis, sehingga menimbulkan risiko hukum jika terjadi sengketa atau masalah teknis di lapangan. 

Praktik pinjam bendera melanggar prinsip integritas dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. 

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam satu pasal, tindakan ini bertentangan dengan Perpres No 16 Tahun 2018 dan ketentuan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) terkait keterangan palsu dan pengalihan pekerjaan tanpa izin.

Dalam beberapa kasus, Mahkamah Agung bahkan menjatuhkan hukuman pidana kepada pelaku pinjam bendera, meskipun kerugian negara telah dikembalikan. 

Hal ini mengacu pada ketentuan dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. 

Dari sisi perpajakan, kebiasaan ini menimbulkan ketidaksesuaian antara pelaksanaan proyek dan laporan pajak

Karena dana proyek masuk ke rekening perusahaan pemilik bendera, sementara pelaksana proyek tidak tercatat secara resmi, maka laporan pajak menjadi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.

Ini berpotensi memicu audit dan koreksi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 

Salah satu risiko utama adalah ketidaksesuaian pelaporan Pajak Penghasilan (PPh).

Penghasilan dari proyek dilaporkan oleh perusahaan pemilik bendera, padahal biaya operasional ditanggung oleh pihak peminjam. 

Ketidaksesuaian ini bisa menimbulkan koreksi pajak, denda, bahkan sanksi pidana jika ditemukan unsur kesengajaan.

Mulai tahun 2025, risiko ini semakin besar karena ambang batas omzet wajib Pengusaha Kena Pajak (PKP) diturunkan drastis dari Rp4,8 miliar menjadi Rp600 juta.

Hal ini meningkatkan potensi terjadinya faktur pajak fiktif atau tidak sesuai, yang bisa terkena sanksi administratif hingga 2 persen dari dasar pengenaan pajak.

Dampak pada Keuangan dan Operasional Selain risiko hukum dan pajak, kebiasaan pinjam bendera juga menyulitkan pelaku usaha dalam mengelola pembukuan dan arus kas. 

Karena dana proyek masuk ke rekening perusahaan lain, pelaksana proyek tidak memiliki kontrol penuh atas keuangan dan tidak bisa mencatat transaksi secara sah dalam laporan keuangannya.

Akibatnya, mereka kesulitan menyusun laporan keuangan, mengajukan pinjaman, atau mengikuti proyek lain secara legal. 

Kondisi ini juga menyulitkan pengusaha dalam membangun reputasi bisnis. 

Tanpa rekam jejak resmi, mereka tidak bisa menunjukkan portofolio proyek yang telah dikerjakan, sehingga sulit bersaing secara sehat di masa depan.

Mengapa Praktik Ini Terjadi? Ada dua alasan utama mengapa kebiasaan ini masih marak.

Pertama, karena keterbatasan modal, sumber daya manusia, dan legalitas usaha.

Banyak kontraktor kecil dan pemula merasa tidak mampu memenuhi persyaratan administrasi dan teknis yang ditetapkan pemerintah. 

Mereka menganggap bahwa selama proyek berjalan lancar, tidak akan ada masalah. Kedua, karena dorongan oportunistik.

Beberapa pengusaha ingin mendapatkan proyek secara cepat tanpa mendirikan usaha secara sah. 

Bahkan dalam beberapa kasus, kebiasaan ini didorong oleh oknum internal atau pihak ketiga yang menjanjikan proyek dengan imbalan tertentu. 

Kondisi ini menciptakan ekosistem bisnis yang tidak sehat dan rentan terhadap kebiasaan manipulatif. 

Jika terjadi audit, sengketa, atau keterlambatan pembayaran, posisi hukum pelaksana sangat lemah karena tidak tercatat sebagai pihak resmi dalamkontrak.

Solusi: Bangun Legalitas, Hindari Risiko 

Melihat berbagai risiko hukum dan perpajakan dari kebiasaan pinjam bendera, pelaku usaha konstruksi sebaiknya mulai beralih ke jalur yang legal dan berkelanjutan. 

Membangun legalitas usaha sendiri seperti memiliki IUJK, SBU, dan NPWP memang memerlukan waktu dan biaya, tetapi memberikan posisi hukum yang kuat dan membuka peluang mengikuti tender secara mandiri.

Pemerintah juga menyediakan pembinaan melalui LPJK serta insentif pajak bagi UMKM, seperti tarif PPh Final 0,5persen dan pembebasan PPh untuk omzet di bawah Rp500 juta. 

Alternatif lain yang lebih aman adalah membentuk konsorsium atau kerja sama subkontrak yang sah, dengan pembagian tanggung jawab yang jelas sesuai aturan.

Pelaku usaha juga disarankan untuk rutin berkonsultasi hukum dan pajak agar tetap patuh regulasi.

Dukungan pemerintah melalui edukasi, pelatihan, dan sistem pengadaan digital diharapkan mampu mendorong terciptanya ekosistem usaha konstruksi yang sehat, transparan, dan taat hukum. 

Pinjam bendera mungkin terlihat sebagai solusi cepat untuk mengatasi keterbatasan administratif, tetapi kebiasaan ini menyimpan risiko besar yang dapat merugikan semua pihak.

Dengan memahami konsekuensi hukum dan perpajakan yang ditimbulkan, pengusaha konstruksi diharapkan dapat memilih jalur usaha yang legal, aman, dan berkelanjutan. 

Karena dalam dunia usaha, membangun fondasi yang kuat jauh lebih penting daripada sekadar mengejar proyek sesaat.

Septariyansyah, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Banten
Septariyansyah, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Banten (Dokumen Pribadi)

Disclaimer : Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, bukan cerminan instansi tempat penulis bekerja.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved