Berbagai hal yang dinilai tidak memberikan kenyamanan tersebut di antaranya adalah berbohong, selingkuh (menjalin hubungan dengan orang lain), atau memiliki kualitas diri yang negatif.
Selanjutnya faktor ketiga adalah kualitas hubungan, yang mana pelaku ghosting menganggap hubungan yang tengah dijalaninya tidak serius hingga tak memiliki masa depan.
“Sehingga pelaku merasa ghosting adalah jalan keluar terbaik dan tidak memerlukan penjelasan apapun,” ucapnya.
Faktor yang terakhir adalah putus asa yang dialami pelaku ghosting, sehingga ia merasa tidak ada jalan keluar lain untuk menghentikan hubungan, dan memilih ghosting sebagai jalan keluar.
Terakhir, Devie berujar bahwa Sherry Turkle yang merupakan Guru Besar Media dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), menyampaikan bahwa ghosting akan berdampak pada hilangnya rasa empati terhadap orang lain.
“Dia menyebutnya sebagai kekejaman emosional (emotional cruelty). Bagi korban ghosting, perilaku ini membuat mereka merasa sangat tidak berdaya, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk didengar,” imbuhnya.
“Hal ini dapat mendorong perasaan kesedihan, kesendirian dan kecemasan. Mengingat, manusia secara alamiah memiliki panggilan untuk didengarkan. Didiamkan (ghosting) secara sistematis, tentu menjadi luka sosial yang kuat,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Menguak Istilah Ghosting dari Viralnya Hubungan Kaesang Pangarep dengan Felicia Tissue, https://jakarta.tribunnews.com/2021/03/15/menguak-istilah-ghosting-dari-viralnya-hubungan-kaesang-pangarep-dengan-felicia-tissue?page=all