Laporan Reporter TribunBanten.com, Misbahuddin
TRIBUNBANTEN.COM, PANDEGLANG - Ketua DPRD Kabupaten Pandeglang, Tubagus Khotibul Umam mengaku akan segera menindak lanjuti aspirasi yang disampaikan warga Kecamatan Cibaliung, terkait persoalan konflik agraria antara warga dengan Perhutani.
Diketahui, ratusan warga Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Pandeglang, Kamis (8/5/2025).
Dalam aksinya, mereka menuntut agar konflik agraria antara warga dengan Perhutani segera diselesaikan.
Baca juga: Kantor DPRD Pandeglang Digeruduk Warga Cibaliung, Minta Tuntutan Ini Dipenuhi
Selain itu mereka juga meminta agar 3 warga yang ditangkap polisi hutan (Polhut) segera dibebaskan.
"Kami bersama unsur pimpinan DPRD Pandeglang lain, kebetulan sudah turun langsung ke wilayah Cibaliung, untuk menggali informasi lebih lengkap lagi kaitan dengan persoalan tersebut," ujarnya saat ditemui di Kecamatan Menes, Kamis (15/5/2025).
Politisi Golkar itu mengatakan hingga saat ini DPRD masih terus menggali informasi lengkap, agar bisa menemukan titik terang.
"Kami masih menggali informasi lengkapnya dan masih mencari akar masalahnya seperti apa. Setelah itu baru cari solusinya dari permasalahan itu," katanya.
Menurutnya warga mengklaim bahwa mereka mengelola lahan tersebut dari leluhur mereka.
Namun, tanah yang diklaim tersebut sebelumnya juga sudah dikelola oleh Perhutani.
Sehingga dalam hal ini, tugas DPRD Pandeglang harus mendengarkan masukan-masukan dari semua pihak, baik warga maupun Perhutani.
"Makanya kita akan cari dulu akar permasalahannya sejelas mungkin, supaya melahirkan solusi yang baik dan tidak berbenturan secara aturan," terangnya.
"Jadi masyarakat juga butuh hak untuk hidup, negara juga harus melindungi mereka sebagai warga negara yang baik," sambungnya.
Kronologi Konflik Agraria di Cibaliung
Koordinator aksi, Repi Rizali, menyampaikan bahwa konflik agraria antara warga dan Perhutani harus segera diselesaikan.
Ia juga meminta agar tiga warga yang ditangkap segera dibebaskan, karena mereka hanya mengambil kayu untuk kebutuhan pribadi, bukan untuk dijual.
"Mereka bukan maling, mereka hanya memanfaatkan kayu yang lahannya sudah sejak dulu ditempati para warga," ujarnya.
Masyarakat mengklaim telah mengelola lahan tersebut sejak lama, bahkan sebagian memiliki bukti girik dan pembayaran pajak yang sah.
Namun, sejak Perhutani menanam pohon mahoni pada tahun 1980 dan pohon jati pada tahun 1992, mereka mengklaim lahan tersebut sebagai kawasan hutan di bawah penguasaan mereka.
"Nah proses penanaman ini dilakukan oleh warga, cuma bibit disediakan oleh Perhutani dengan cara mereka memaksa warga untuk menanam pohon itu," jelasnya.
"Sejak saat itu, mereka mengklaim secara sepihak bahwa lahan tersebut adalah kawasan hutan di bawah penguasaan mereka," katanya.
Pada tahun 1999, masyarakat mulai mengalami intimidasi dari sekelompok orang bersenjata yang diduga Brimob dan preman bayaran utusan Perhutani.
Mereka yang vokal menentang penguasaan lahan oleh Perhutani ditangkap.
Insiden besar terjadi pada tahun 2001, ketika 49 petani ditangkap oleh aparat.
"Mereka yang vokal menentang penguasaan lahan oleh Perhutani ditangkap, insiden besar terjadi kembali pada tahun 2001, ketika 49 petani ditangkap oleh aparat," katanya.
"Mereka juga diborgol, dilempar ke mobil, dan dibawa ke Polres Pandeglang."
"Dari jumlah 40 orang dipulangkan, setelah pemeriksaan sedangkan 9 orang ditahan," sambungnya.
"Selanjutnya, tahun 2004 masyarakat masih terus membayar pajak tanah."
Baca juga: Warga Cibaliung Desak Penyelesaian Konflik Agraria dengan Perhutani, Wabup Iing Janji Tindak Lanjuti
"Namun sejak tahun 2005, pemerintah desa menolak menerima pembayaran pajak tanpa alasan yang jelas.
"Maka dari itu kami meminta kepada pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat untuk hadir memberikan solusi kepada kami," tegasnya.
"Jangan sampai masyarakat melawan di luar dari pada aksi yang kita lakukan sekarang ini dan lebih keras lagi," sambungnya.