Demo Buruh 2025: Tuntut Hapus Outsourcing dan Naikkan Upah Minimum 2026

Ribuan buruh di berbagai kota turun ke jalan pada Oktober 2025 menuntut penghapusan sistem outsourcing dan kenaikan upah minimum 2026.

Editor: Abdul Rosid
Dok/Pribadi
Muhamad Dava Fariddudin, mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) 

Penulis: Muhamad Dava Fariddudin
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)

TRIBUNBANTEN.COM - Gelombang aksi buruh kembali mewarnai sejumlah kota besar di Indonesia pada Oktober 2025. Ribuan pekerja yang tergabung dalam berbagai serikat buruh turun ke jalan untuk menuntut penghapusan sistem outsourcing yang dinilai merugikan dan mengikis kesejahteraan tenaga kerja.

Tuntutan ini bukanlah fenomena baru, melainkan bagian dari perjuangan panjang kaum buruh dalam memperjuangkan kepastian kerja dan keadilan sosial. Aksi tersebut menunjukkan masih adanya kesenjangan antara kepentingan ekonomi korporasi dan perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja yang seharusnya dijamin oleh negara.

Sistem outsourcing telah lama menjadi isu sentral dalam dinamika ketenagakerjaan nasional. Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemerintah memberikan ruang bagi perusahaan untuk menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga atas dasar efisiensi. Namun, implementasi kebijakan ini justru melahirkan ketidakpastian status kerja, rendahnya tingkat upah, serta lemahnya perlindungan sosial bagi pekerja.

Baca juga: Suluk Tanara: Rantai Nur di Dada Syekh Nawawi al-Bantani

Meskipun pemerintah telah melakukan revisi melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak buruh masih hidup dalam ketidakpastian kontrak dan belum memperoleh jaminan pekerjaan yang layak.

Aksi massa pada tahun 2025 menegaskan bahwa persoalan outsourcing belum terselesaikan secara tuntas. Serikat pekerja menilai kebijakan pemerintah masih lebih berpihak pada kepentingan pemodal besar. Semangat deregulasi yang dibawa oleh omnibus law dianggap memperlemah posisi tawar buruh.

Kondisi ini memberikan ruang bagi perusahaan untuk menggunakan sistem alih daya secara masif demi menekan biaya produksi tanpa memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja. Akibatnya, ketimpangan sosial semakin melebar, dan hubungan industrial kehilangan prinsip keadilan yang seharusnya menjadi landasannya.

Selain menolak praktik outsourcing, para buruh juga menuntut kenaikan upah minimum tahun 2026 serta penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar regulasi ketenagakerjaan. Mereka menilai pengawasan pemerintah masih lemah, sehingga banyak perusahaan dengan mudah mengabaikan hak-hak dasar pekerja seperti upah layak, jaminan sosial, dan keselamatan kerja.

Tuntutan tersebut tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi, tetapi juga menyangkut dimensi moral dan sosial. Ketika biaya hidup meningkat tanpa disertai kenaikan upah, buruh menghadapi kesulitan ekonomi yang serius. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kesenjangan ekonomi dan ketidakstabilan sosial dapat meningkat secara signifikan.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan bahwa sistem outsourcing tidak sepenuhnya harus dihapus karena masih dibutuhkan pada sektor tertentu seperti kebersihan, keamanan, dan logistik. Namun demikian, pemerintah juga mengakui perlunya pengawasan yang lebih ketat agar praktik tersebut tidak menimbulkan eksploitasi.

Pandangan ini menimbulkan perdebatan di kalangan publik. Sebagian pihak menilai pendekatan pemerintah terlalu kompromistis karena tidak menyentuh akar permasalahan utama, yakni ketimpangan struktural antara pemilik modal dan tenaga kerja. Sementara itu, kalangan pengusaha berpendapat bahwa penghapusan total sistem outsourcing dapat mengurangi efisiensi dan menurunkan daya saing industri nasional.

Dari perspektif politik, demonstrasi buruh kali ini mencerminkan bentuk kritik terhadap arah kebijakan ekonomi yang dinilai terlalu berpihak kepada kepentingan kapital. Gerakan buruh tidak semata-mata menuntut peningkatan upah, tetapi juga transformasi paradigma pembangunan nasional yang lebih berkeadilan.

Kaum buruh mengharapkan kehadiran negara bukan hanya sebagai pembuat regulasi, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak pekerja. Dalam konteks demokrasi, aksi ini memperlihatkan bahwa partisipasi politik masyarakat tidak hanya diwujudkan melalui pemilu, tetapi juga melalui gerakan sosial yang menuntut kebijakan publik yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Dari dimensi sosial, aksi ini menggambarkan meningkatnya kesadaran kolektif di kalangan pekerja. Dalam era globalisasi dan digitalisasi ekonomi, solidaritas antarkelompok buruh justru semakin menguat. Aksi yang dilakukan secara damai dan tertib menunjukkan kematangan politik serta kedewasaan dalam menyampaikan aspirasi.

Kesadaran bahwa perjuangan terhadap kesejahteraan bukanlah bentuk perlawanan, melainkan upaya mempertahankan martabat sebagai warga negara, menjadi wujud nyata dari kematangan demokrasi di tingkat akar rumput.

Sumber: Tribun Banten
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved