Potret Kemiskinan di Banten
Satu Keluarga Tinggal di Gubuk di Tepi Laut, Tiap Malam Ditemani Air Pasang
Tak dinyana, Asmawati mengungkapkan lahan dan rumah gubuk yang ditempatinya bersama keluarga bukan miliknya.
*Suara Asmawati Bergetar
TRIBUNBANTEN.COM, SERANG - Sepuluh tahun sudah Apipi (47) dan istri, Asmawati (45), beserta empat anaknya tinggal di sebuah gubuk dekat bibir pantai, Kampung Sawah, Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten.
Saat dikunjungi Kamis (23/7/2020) siang, tampak rumah mereka yang luasnya tak sampai 50 meter persegi hanya berdinding bilik bambu serta beratap genteng tua bercampur asbes.
Tak ada lantai keramik ataupun plesteran semen di alas rumah mereka. Hanya tanah menjadi tempat pijakan maupun untuk duduk.
Melongok bagian dalam rumah, tak ada perabotan mewah yang terlihat.
Hanya ada kompor gas ukuran kecil dan sejumlah peralatan masak yang tampak keropos dan kusam.
Baling-baling kipas angin yang menggantung pun sudah tidak berfungsi alias rusak.
Gersang dan engap pun terasa begitu memasuki dalam rumahnya mengingat berada tepat di bibir pantai dan tak ada ventilasi udara.
Asmawati berbagi cerita tentang kondisi keluarganya.
Ia mengaku hanya seorang ibu rumah tangga.
Sementara, suaminya, Apipi hanya seorang nelayan yang kesehariannya mengais rezeki dengan mengandalkan jaring serta kekuatan tangannya di lautan.
Meski begitu, Asmawati berusaha membantu perekonomian keluarganya dengan bekerja sebagai tukang pijat di kampungnya.
Selain itu, keluarga itu juga tidak mempunyai bor air yang biasa dimiliki bangunan yang berada di daerah pesisir laut.
Untuk kebutuhan air sehari-hari, dia membeli air dari pedagang keliling.
"Karena di rumah tidak ada air bor, tiga hari sekali kami beli air, harganya Rp25 ribu dapat 8 diregen," ujar Asmawati saat ditemui di rumahnya.
