Penerimaan Sektor Pajak Belum Capai Target, LPKPI Usul Maksimalkan Penegakan Hukum
Lembaga Pengawas Kejahatan Pajak Indonesia (LPKPI) memaparkan hasil temuan penyebab belum maksimalnya penerimaan dari sektor pajak.
TRIBUNBANTEN.COM, JAKARTA - Lembaga Pengawas Kejahatan Pajak Indonesia (LPKPI) memaparkan hasil temuan penyebab belum maksimalnya penerimaan dari sektor pajak.
Pajak adalah sumber pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang paling dominan.
Sekitar 80 persen APBN Indonesia disumbang dari penerimaan pajak.
Namun, penerimaan dari sektor pajak belum memperlihatkan kinerja baik terutama saat masa pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Baca juga: HORE Pemerintah Bebaskan Pajak untuk Gaji Karyawan, Berikut Ketentuannya
Baca juga: Aturan Baru Pajak Pulsa, Token Listrik dan Kartu Perdana, Harganya Bakal Naik?
Ketua Umum LPKPI, Muh. Irwan, menilai banyak potensi pajak yang belum tersentuh Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut dia, potensi pajak itu di berbagai bidang, seperti properti dan pendidikan.
"Dari penelitian kami juga terdapat potensi yang sangat besar di bidang perdagangan elektronik dan lain-lain," kata dia, Rabu (24/2/2021).
Selain belum maksimalnya penyerapan pajak, pihaknya juga mendorong Kejaksaaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi proses penerimaan pajak.
Sehingga, kata dia, jangan sampai wajib pajak yang seharusnya membayarkan pajak lolos dari kewajibannya.
Sejauh ini, dia menilai, belum ada kerjasama yang baik dan teintegrasi antara Direktur Pemeriksaan dan Direktur Penegakan Hukum di Direktorat Jenderal Pajak.
Kurang maksimalnya petugas pajak terutama di bidang penegakan hukum berpotensi hilangnya perolehan pajak yang dapat diambil.
Apabila dibiarkan, kata dia, ada potensi pengemplangan pajak hingga senilai Rp 150 Miliar.
"Kami soroti potensi yang hilang," tambahnya.
Untuk diketahui, penerimaan pajak sepanjang 2020 terpantau tidak bisa memuhi target yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Meski tekor pada tahun lalu, pemerintah tetap musti mengejar proyeksi penerimaan pajak 2021 yang tumbuh 12,9% dari realiasi 2020.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 mematok target penerimaan pajak di tahun ini sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Angka tersebut naik Rp 159,6 triliun dari realiasi sepanjang tahun lalu yakni Rp 1.070 triliun.
Padahal, kinerja penerimaan pajak Januari-Desember 2020 loyo, dengan shortfall Rp 128,8 triliun atau hanya mencapai 89,3% dari outlook sebesar Rp 1.198,8 triliun.
Secara rinci, penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas tahun depan ditargetkan sebesar Rp 45,76 triliun, meningkat 27,4% dari realisasi tahun ini sebesar Rp 33,2 triliun.
Baca juga: Target Penerimaan 2021 Rp 1.229,6 Triliun, IKHAPI Bantu Pemerintah Tingkatkan Kesadaran Wajib Pajak
Baca juga: Warga Kabupaten Serang Kini Bisa Bayar Pajak Kendaraan Lewat Drive Thru di Samsat Ciruas
Kinerja penerimaan PPh migas sepanjang 2020 itu cukup menggembirakan, sebab setara 104,1% terhadap target yang ditetapkan pemerintah sejumlah Rp 31,9 triliun.
Sehingga, bisa mengurangi beban setoran PPh migas pada 2021 yang sebetulnya perlu tumbuh 30,2% dari outlook tahun 2020.
Sementara itu, target penerimaan pajak non-migas pada tahun ini sebesar Rp 1.183,84 triliun.
Dengan demikian otoritas pajak perlu meningkatkan setoran pajak non-migas hingga 12,4% dari realiasi tahun lalu sebesar Rp 1.036,8 triliun.
Adapun penerimaan pajak non-migas tahun ini akan dikumpulkan dari setoran pajak pertambahan nilai (PPN), PPh non-migas, pajak bumu dan bangunan (PBB), serta pajak lainnya.
Postur penerimaan pajak 2021 ini ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2020 tentang APBN Tahun Anggaran 2021.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak di tahun ini akan dipengaruhi oleh keberlanjutan ekonomi di tengah pananganan pandemi virus corona. Namun hingga saat ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum memberikan sinyal untuk merevisi target pajak 2021.
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menambahkan pihaknya memastikan tetap menjalankan intensifikasi dan ekstensifikasi basis pajak pada 2021.
Walaupun, ia tidak memungkiri ke depan akan terkendala untuk turun kelapangan akibat pembatasa sosial.
“Kita berharap program vaksinasi virus corona berjalan dengan lancar, sehingga aktivitas masyarakat dan dunia usaha kembali berjalan normal. Demikian juga aktivitas intensifikasi dan ekstensifikasi pajak,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Kamis (7/1).
Yoga menegaskan terpenting bagi pemerintah adalah penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Sehingga pajak yang merupakan instrumen fiskal tidak hanya bertujuan untuk budgetair, tapi juga regularend.
Makayanya, dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 20,4 triliun.
Setali tiga uang, Yoga menyampaikan otoritas pajak belum mengagendakan kebijakan pajak baru yang bisa mengerek penerimaan.
“Mengenai kebijakan pajak, belum ada yang rencana perubahan yang bisa saya sampaikan,” ujar Yoga.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyarankan pemerintah bisa menurunkan ambang batas ketentuan omzet pengusaha kena pajak (PKP) saat ini yang di atas Rp 4,8 miliar per tahun.
“Saya kira tidak akan mengganggu recovery ekonomi, justru ini dapat mendorong persaingan usaha yang sehat. Potensi penerimaannya besar,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (7/1).
Fajry berdalih berdasarkan laporan belanja perpajakan untuk tahun 2018, ada sekitar Rp 44 triliun potensi penerimaan pajak yang hilang karena ambang batas PKP di Indonesia terlalu tinggi.
Tulisan ini sudah tayang di Kontan.co.id berjudul Sudah tekor, penerimaan pajak 2021 musti tambah Rp 159,6 triliun
