Dari 142 Pesawat, Tersisa 40-60 Unit, Garuda Indonesia Sepi Terbang, Wamen BUMN: Banyak Komplain

Belakangan kami banyak mendapatkan komplain karena flight Garuda Indonesia makin langka

TRIBUNBANTEN/ZUHIRNA WULAN DILLA
Maskapai penerbangan, Garuda Indonesia, melakukan kampanye penggunaan masker dan penerapan protokol kesehatan. Upaya yang dilakukan dengan cara memasang gambar masker berukuran besar pada moncong pesawat. Masker itu bewarna hijau. 

TRIBUNBANTEN.COM - Utang Garuda Indonesia tembus 9,8 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 140 triliun (asumsi kurs Rp 14.247).

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan utang terbesar berasal dari kewajiban pembayaran sewa pesawat kepada lessor, yaitu sebanyak 6,3 miliar dolar AS.

Hal itu dikatakan menteri yang akrab disapa Tito ini dalam rapat dengar dengan anggota DPR, Selasa (9/11/2021).

Pesawat Garuda Indonesia pun yang beroperasi tak banyak.

Dari total 142 pesawat, hanya tersisa 40-60 unit.

Baca juga: Garuda Indonesia Disebut Sudah Kronis, Pemerintah Akan Ganti dengan Pelita Air? Ini Kata Pengamat

"Belakangan kami banyak mendapatkan komplain karena flight Garuda Indonesia makin langka," ujarnya.

Banyak pesawat Garuda yang sudah di-grounded.

"Ini memang menjadi isu karena kami akan selektif melayani rute tertentu yang secara profitabilitas di atas cost structure  Garuda,” ucap Tito.

Menurut dia, dari banyak tipe pesawat yang sebelumnya dimiliki Garuda, pesawat Boeing 737 yang lebih efisien dari sisi operasi justru yang paling banyak diambil oleh perusahaan lessor. 

Itu pula yang membuat maskapai milik negara ini hanya menggunakan tipe widebody Boeing 777 dan 330 yang mengangkut lebih banyak penumpang kendati tidak seefisien Boeing 777. 

Adapun anak usaha Garuda Indonesia, Citilink masih relatif stabil dari kepemilikan pesawat dengan mayoritas bertipe A320.

Tipe pesawat dan kepemilikan pesawat oleh Citilink ini akan tetap dipertahankan. 

Tiko menggambarkan latar belakang kondisi Garuda saat ini merupakan gabungan dari dua aspek pada masa lalu ada tata kelola yang buruk dan besar sehingga membuat cost structure tidak kompetitif. 

Baca juga: 1.691 Karyawan Garuda Indonesia Pensiun Dini Akibat Covid-19, Pilot Dirumahkan Bergantian

Bahkan, ada kasus korupsi yang juga sudah diputuskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait nilai kontrak pesawat. 

Nilai kontrak pesawat ini menyebabkan jumlahnya cukup tinggi dibandingkan dengan maskapai lainnya lainnya. 

Pada tahun 2019, emiten berkode saham GIAA tersebut sebetulnya sudah dapat menghasilkan keuntungan dari rute domestik meski merugi di rute internasional. 

Saat itu, Garuda masih bisa meraih keuntungan senilai 240 juta dolar AS.

Namun, pandemi Covid-19 menjadi pemicu yang disebut Tiko sebagai perfect storm

Maskapai dengan jenis layanan penuh tersebut harus berjuang dengan cost structure dan pendapatan yang turun signifikan.

Baca juga: Garuda Indonesia Alami Kritis Keuangan, Komisaris Tegaskan Rela Gajinya Tak Dibayar Mulai Mei 2021

Apabila pada 2019 jumlah penumpang GIAA sempat menyentuh 235 juta, kini tertinggal hanya 70 juta orang. 

“Ini yang merupakan imbas pengetatan kemudian juga penerapan PCR berdampak ke Garuda. Penumpang saat ini pun hanya 70 juta orang,” ucapnya.  

Padahal pada Desember 2020, jumlah penumpang pernah mencapai 100 juta, tetapi kembali turun karena pandemi. 

Tiko menyebut, saat ini sulit untuk memprediksi cashflow Garuda karena sangat tergantung dari  pemulihan kondisi Covid-19. 

“Jadi kalau ditanyakan Garuda ini kinerjanya turun karena apa karena pandemi atau karena korupsi? Dua-duanya  Covid-19 dan korupsi,” katanya.  

Baca juga: Garuda Indonesia Miliki Tunggakan Gaji Karyawan Rp 328 Miliar Hingga Pesawat Hanya Tinggal 53 Unit

Tiga Skema

Ada tiga skema restrukturisasi yang disiapkan Garuda, yaitu:  

Pertama, Garuda akan mengurangi jumlah pesawat dari 202 armada pada 2019 menjadi 134 pada 2022.

Pengurangan jumlah armada ini sejalan dengan pemangkasan rute serta tipe pesawat.

Garuda akan berfokus menerbangi rute potensial dalam negeri.

Dari sisi jenis pesawat, Garuda akan bakal memangkas armadanya dari total 13 jenis menjadi hanya tujuh jenis.

Kedua, Garuda akan melakukan negosiasi utang atas kontrak sewa pesawat yang masih akan dipakai perseroan pada masa mendatang. 

Melalui renegosiasi Tiko berharap biaya sewa pesawat Garuda dan anak usahanya, Citilink, turun 40%-50 persen dari tarif saat ini.

Baca juga: Garuda Indonesia Tawarkan Masyarakat yang Ingin Coba Sensasi Jadi Pilot, Tarif Mulai Rp 1,6 Juta

Ketiga, Garuda akan menempuh pembatalan nilai utang dan tunggakan secara material.

Pengurangan utang akan dilakukan untuk tipe-tipe kreditur tertentu.

Untuk kreditur BUMN, seperti Airnav, Gapura, dan bank-bank himbara, Garuda akan menerbitkan zero coupon bond.

ZCB merupakan instrumen surat utang tanpa bunga hingga jatuh tempo.  

Selanjutnya untuk tunggakan terhadap Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, lessor, vendor, sukuk, bank swasta, hingga pembelian pesawat yang ditangguhkan, Garuda akan menerbitkan new coupon debt

Sementara untuk utang pajak dan karyawan hingga obligasi wajib konversi, Garuda akan tetap menghitung sebagai utang penuh.

Tiko menyatakan sukses tidaknya upaya restrukturisasi ini tergantung negosiasi dengan para lessor. 

Garuda kini menghadapai tantangan untuk menempuh negosiasi dengan total 32 lessor dengan karakteristik yang berbeda-beda. 

“Memang yang challenging adalah lessor yang kita ingin kembalikan pesawatnya. Harus ada sweetener supaya mereka setuju dengan proposal kita,” ujar Tiko.

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Ini tiga opsi baru restrukturisasi utang jumbo Garuda (GIAA) segede Rp 140 triliun

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Pesawat Garuda tinggal 40-60 pesawat dari 143 unit, GIAA sepi terbang

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved