Jelang Pemilu 2024, Pendekar Indonesia Minta Calon Pemilih Jangan Terjebak Politik Identitas

Ketua Umum Relawan Pendekar Indonesia, Hendrawan Saragi mengajak calon pemilih di Pemilu 2024 memilih pemimpin nasional yang dipercaya

Editor: Glery Lazuardi
Tribun Jogja/ Suluh Pamungkas
Ilustrasi Pemilu. Ketua Umum Relawan Pendekar Indonesia, Hendrawan Saragi mengajak calon pemilih di Pemilu 2024 memilih pemimpin nasional yang dipercaya dan mampu membawa masyarakat Indonesia adil dan toleran. Kini, dia menilai, Indonesia menghadapi masalah nyata dengan rasisme dan bentuk kefanatikan lainnya. 

TRIBUNBANTEN.COM - Ketua Umum Relawan Pendekar Indonesia, Hendrawan Saragi mengajak calon pemilih di Pemilu 2024 memilih pemimpin nasional yang dipercaya dan mampu membawa masyarakat Indonesia adil dan toleran.

Kini, dia menilai, Indonesia menghadapi masalah nyata dengan rasisme dan bentuk kefanatikan lainnya.

“Para politisi tak mampu menahan diri dari mengungkapkan prasangka ras, asal lahir, atau prasangka irasional lainnya disaat bangsa kita secara aktif mendorong keberagaman dan inklusivitas. Mereka menganggap bahwa kita masih terjebak di tahun 1960-an (era Ganefo)," ujarnya dalam keterangan yang diterima pada Sabtu (1/4/2023).

Baca juga: Sama-sama Mantan Gubernur Banten, WH & Rano Punya Harta Miliaran, Tarung Lagi di Pilgub Banten 2024?

Lantas, kata dia, apa yang akan terjadi jika respons dasar manusiawi ini dibajak oleh politik identitas?

"Kita akan diperlakukan kasar, diabaikan, dan tidak diperdulikan karena kita berasal dari ras dan kebangsaan yang berbeda,” ujarnya.

Ia berpendapat, tidak hanya salah mendiagnosis masalahnya, tetapi mereka mengusulkan solusi yang hanya akan memperburuk kefanatikan dan ketegangan ras di negara ini.

“Kita tidak akan pernah mencapai masyarakat yang toleran, apabila masih ada orang-orang yang berpikir bahwa karakteristik kita yang tidak dapat diubah-diperoleh dari sang Pencipta menentukan bagaimana kita dapat diperlakukan,” ujarnya.

Ditegaskan Saragi, sudah seharusnya tidak mendukung politisi yang kurang menghormati kemanusiaan. ketika tidak melihat kemanusiaan pada orang lain, memberikan tambahan kekuatan kepada para otoriter.

Untuk itu, kata dia, cara melawan otoritarianisme adalah dengan melihat kemanusiaan pada setiap orang. Martin Buber dalam karyanya yang paling terkenal, I and Thou, mengamati bahwa kita melihat dunia dalam salah satu dari dua cara mendasar: “I-Thou” atau “I-It”.

"Melihat orang lain sama pentingnya dengan diri sendiri adalah cara “Aku-Engkau”. Melalui kacamata “I-It”, orang lain dipandang sebagai objek yang lebih rendah yang membantu kita atau menjadi penghalang yang menghalangi jalan kita,” ungkapnya.

Pendekar Indonesia menilai bahwa kebutuhan negara kita adalah untuk tetap tenang, berdiri tegak, keluar dari kebingungan dan disorientasi serta ingatan yang tidak jelas.

Dia mengajak mempertimbangkan ketenangan orang di dalam negeri lebih berharga daripada kedamaian orang lain di luar negeri.

"Kita tidak harus menciptakan masa lalu imajiner untuk bangga dengan negara kita. Kita tidak boleh mengabaikan realitas sejarah kita. Anak bangsa perlu memahami pentingnya akibat dari rasisme, antisemitisme, seksisme, dan ketidakadilan lainnya," ujarnya.

Untuk itu, perlu memikirkan dan bertindak terhadap satu sama lain dalam hal gagasan dan cita-cita yang menjadi dasar negara ini didirikan, seperti yang diungkapkan dalam Konstitusi negara.

"Kita adalah individu-bukan sebagai kelompok suku dan ras maupun kelompok pilihan politik dengan hak hidup, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan yang tidak dapat direbut oleh siapapun. Peradaban kita bergantung, tidak hanya pada asal-usulnya tetapi juga pada pelestariannya yaitu tatanan kerja sama antar manusia,” terang Saragi.

Baca juga: Industri di Tangerang Tawarkan Kotak Suara Pemilu 2024 Terbuat dari Plastik

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved