Ramadan 2023
Kisah Deni Iskandar Pemuda Asal Pandeglang Jalani Ramadan di Vatikan: Roma, Puasa, dan Kuasa Ilahi
Saya bersyukur diberi kesempatan untuk belajar secara formal di dua Kampus dan di Nostra Aetate Foundation Office
TRIBUNBANTEN.COM - Genap sudah empat bulan saya belajar hidup dan mengarungi bait-bait kehidupan di Roma, Kota Abadi, Ibu Kota Italia.
Tentu sangat berbeda jauh dengan kehidupan di negeri saya lahir, yaitu Indonesia.
Namun, hari demi hari saya lalui, tidak pantas rasanya saya mengeluh, bersedih, apalagi sampai ingin segera kembali.
Baca juga: Hikmah dan Keutamaan Membayar Zakat Fitrah sebagai Penyempurna Ibadah Puasa di Bulan Ramadan
Rasa itu jauh sekali, dan tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benak saya; maksudnya untuk kembali ke Indonesia.
Seumur hidup saya, Kota Roma, ibu kota negara Italia adalah kota dan negara pertama di luar negeri yang tanahnya saya injak dan tempatnya saya singgahi.
Terus-terang, saya belum pernah ke luar negeri sebelumnya.
Ada banyak pengalaman hidup yang saya dapatkan di sini, yang tentu saja itu tidak didapatkan dan tidak dirasakan teman-teman seangkatan.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa suatu waktu di dalam hidup, saya akan merasakan bagaimana belajar dan kuliah di Pontifical University Thomas Aquinas-Angelicum dan Universita Pontifica Gregoriana.
Selain itu, juga di Nostra Aetate Foundation pada Dicastery for Interreligious Dialogue (NAF-DID) Office di Vatikan.
Berkat wasilah (pertolongan melalui perantaraan) dari seorang Pastor Katolik, bernama Padre Marco, SVD, saya bisa punya kesempatan belajar di Kampus-kampus Kepausan dan juga di Dikasterium Kepausan milik Vatikan.
Saya bersyukur diberi kesempatan untuk belajar secara formal di dua Kampus dan di Nostra Aetate Foundation Office, yang merupakan tempat bekerja Padre Marco tentang metode dan strategi.
Baca juga: Arti Kata Mudik yang Populer Diucapkan di Moment Ramadan dan Jelang Lebaran, Ternyata Ini Maknanya
Di samping metode dan strategi, juga pendasaran Gereja Katolik bekerja dan memajukan dialog lintas agama untuk perdamaian dan kerukunan global.
Saya belajar dan melakukan berbagai pengalaman untuk memperkaya diri saya ketika semuanya itu saya elaborasi dalam perbandingan dengan agama saya Islam.
Sungguh-sungguh ada banyak nilai bersama yang harus kita gali, kita refleksikan, dan kita cari aplikasi-aplikasi nyata agar membantu mendekatkan kita dan bekerja sama untuk kesejahteraan bersama.
Sebagai orang Indonesia, saya merasa bangga bisa kenal dengan Padre Marco.
Selain sosoknya yang humble (rendah hati), beliau juga sangat peduli dengan saya, yang sebenarnya bukanlah siapa-siapa.
Saya bukan anak menteri, bukan anak gubernur, bukan anak wali kota atau bupati, bukan juga anak jenderal.

Saya ini hanyalah orang kampung (gembel) yang dengan campur tangan Ilahi mendapat kesempatan belajar di Uni Eropa.
Jalan Ilahi selalu beda dengan pikiran dan rencana manusia.
Lepas dari itu, ada satu hal lain yang membuat saya merasa bangga bisa kenal dengan Padre Marco adalah beliau ini adalah satu-satunya orang Indonesia dan orang Indonesia pertama yang bekerja di Kuria Tahta Suci dan negara Vatikan.
Negara paling kecil di dunia, yang mempunyai kedaulatan serta mempunyai teritori utama seluas 0,44 kilometer persegi, dan sekaligus ekstra teritori di Kota Roma dan sekitarnya.
Negara kecil di bawah pimpinan Paus Fransiskus kelahiran Argentina ini terkenal sangat kuat pengaruhnya untuk sejarah dan peradaban dunia hingga saat ini.
Baca juga: Contoh Teks Khutbah Idul Fitri 1444 H: Puasa Ramadan Melatih Kesabaran
Bagaimana tidak.
Saya yang dilahirkan dari keluarga yang bukan ningrat, apalagi mapan, kok bisa-bisanya saya diberikan beasiswa full oleh Vatikan.
Bahkan lebih dahsyatnya lagi, negara Vatikan menjamin kehidupan saya, mulai dari urusan besar seperti izin tinggal, asuransi, studi, hingga tempat tinggal dan makan minum.
Rasanya tidak bosan-bosan untuk berkata: Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan pimpinan organisasi, bukan anak kiai, dan bukan anak tokoh ini.
Dalam hal ini, saya kadang merasa bahwa dunia sudah mulai terbalik....!!!
Hanya dengan bermodalkan semangat dan keinginan saja saya berangkat tinggalkan kampung halaman dan belajar hal-hal baru menyangkut keagamaan di Kota Roma ini.
Baca juga: Jalan-jalan di Roma, Nagita & Rafathar Sibuk Lakukan Ini, Raffi Soroti Muka Santuy Rayyanza: Cipung!
Lain-lainnya, tidak ada.
Bahkan, saya ingat betul modal awal ketika berangkat ke Kota Roma. Tanpa sponsor!
Untungnya Tuhan itu Maha Baik.
Dalam proses persiapan perjalanan menuju Roma, saya dibantu secara full Bapak Kardinal Suharyo, Bapak Uskup Paskalis Bruno Syukur, OFM, bang Melki Laka Lena, juga Pak Putut Prabantoro.
Betapa saya berterima kasih kepada mereka.
Tanpa mereka, saya tidak mungkin sampai di sini.
Dalam rumus kehidupan, saya meyakini tentang konsep Wasilah, bahwa pertolongan Tuhan akan selalu datang bagi orang-orang yang berjuang.
Baca juga: Siapa yang Berhak Menerima Zakat? Inilah 8 Golongan Penerima Zakat Fitrah di Bulan Ramadan 2023
Pertolongan Tuhan itu diturunkan dan datang melalui manusia yang memiliki sifat-sifat Ketuhanan.
Dalam doktrin Gereja Katolik, mungkin konsep ini mirip dengan apa yang disebut Juru Selamat.
Seperti halnya, Yesus Kristus menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan, yang rela berkorban untuk umat manusia di dunia ini.
Bagi saya, konsep Juru Selamat maupun konsep Wasilah ini mirip, bahwa ada campur tangan Ilahi, ada pengorbanan, ada kebahagiaan dan keselamatan.
Hanya saja, peristiwa atau konsep Juru Selamat ini lebih kepada jalan Teologi-Spiritualis.
Selama hidup di Kota Roma ini, saya menemukan dan aktip melakukan banyak pengalaman, mulai dari perjalanan spiritual, akademis hingga kepada pencarian dan pembangunan jaringan relasi persahabatan berskala internasional.
Baca juga: Hilal di Pantai Anyer Tidak Terlihat, Ini Kata Kemenag Banten
Saya menyadari bahwa peristiwa perjalanan kehidupan umat manusia hanyalah menjemput qodo (ketetapan) dan qodar (ketentuan) Tuhan yang telah digariskan di alam Ajali (asal).
Alam di mana sebelum kita dilahirkan ke dunia, kemudian Tuhan menuliskan semua kesimpulan perjalanan kehidupan umat manusia, di alam mayapada ini.
Di Kota Roma ini saya melihat banyak sekali situs-situs antik sejarah peradaban yang diabadikan dengan baik.
Entah berapa ratus juta turis mancanegara per tahun datang ke kota ini.
Tiap hari Roma selalu dipadati para turis.
Saya melihat banyak bangunan tua, setengah roboh, hingga patahan-patahan tembok yang dirawat dengan baik, juga banyak museum, Gedung-gedung Basilika.
Khususnya Basilika Santo Petrus di Vatikan, Basilika Santo Paulus di luar tembok kota Roma, Basilica Santa Maria Maggiore, dan Basilika Santo Yohanes Lateran.
Baca juga: H-2 Idul Fitri 2023, Gerbang Tol Rangkasbitung Terpantau Sepi Kendaraan Pemudik
Empat Basilika ini adalah Basilika-basilika Kepausan milik Tahta Suci Vatikan.
Ada ribuan gereja di kota Roma.
Ada julukan diberikan kepada kota Roma sebagai kota seribu Gereja.
Selain itu, ada peninggalan paling bersejarah di sini, yaitu Colloseum.
Ada juga lapangan Circo Massimo, ada Piazza Venezia, ada Museum Campidoglia, ada Forum Romanum, ada Fontana di Trevi, ada Tangga Spanyol, ada Piazza del Popolo, Pantheon, serta Piazza Navona.
Dan, tentu saja ada Vatikan yang merupakan objek kunjungan manusia dari seluruh dunia, entah dari budaya dan agama apapun.
Rasa syukur saya tidak pernah berubah.
Baca juga: Raih Malam Lailatul Qadar Ramadan 1444 H, Ini Tanda-tanda dan Amalan yang Harus Dilakukan
Tidak terasa puas hanya tinggal beberapa hari lagi akan selesai dengan semua program di Roma dan Vatikan.
Ramadan juga sebentar lagi akan berakhir.
Apakah Ramadan yang akan datang, saya akan bisa berpuasa kembali seperti ini? Waallahu 'Alam.!
Meskipun di Kota Roma ini umat Islam hanya terhitung dengan jari, tetapi saya harus salut dan angkat jempol untuk keramahan dan keterbukaan pemerintah dan masyarakat di sini.
Dalam praktik beragama, umat Islam bisa dengan bebas dan leluasa, menjalankan ibadah puasa, salat berjemaah, juga berpuasa.
Sepanjang saya hidup di Kota Roma ini, saya melihat dan merasakan betul, bahwa umat Islam di Kota Abadi ini bisa mengekspresikan kehidupan beragamanya secara luwes.
Seluruh hak-hak beribadahnya terpenuhi.
Baca juga: Penjelasan Muhammadiyah Tetapkan Puasa Ramadan 29 Hari, 20 April Terjadi Ijtima: Sempurna 1 Bulan
Kalau ada muslim yang tidak salat atau tidak berpuasa, itu adalah persoalan pribadinya saja dan bukan karena orang-orang nonmuslim di sini yang mempersulit dirinya.
Di Kota Roma ada Masjid Agung yang besar, malah terbesar di Uni Eropa.
Ada juga puluhan musala yang digunakan sebagai tempat ibadah, termasuk Salat Jumat dan Salat Tarawih.
Satu di antara musalanya terletak di wilayah Vittorio Emanuele, bernama Baitu Assalam (Rumah Keselamatan).
Menariknya, musala ini persis berdampingan dengan sebuah gereja Katolik.
Baca juga: Keberkahan Malam Lailatul Qadar di Akhir Ramadan, Kenali Tanda-tandanya dan Lakukan Amalan Ini
Satu hal lain lagi di kota Roma ini yang membuat saya juga sangat bersyukur adalah bahwa, di sini, alhamdulillah, puasa saya selama bulan suci Ramadan ini lancar-lancar saja, alias tidak batal.
Sahabat-sahabat Katolik yang serumah dengan saya, memberikan kepada saya apa yang saya butuhkan untuk berpuasa.
Dari Masjid Agung Roma saya mendapatkan daftar lengkap tentang jam sahur, jam salat, serta jam matahari terbit, jam matahari terbenam, dan jam buka puasa.
Semua lengkap.
Alhamdulillah, di Kota Abadi ini, puasa saya berjalan dengan lancar.!!!!
Inilah satu di antara keuntungannya kalau kita sedikit keluar dari lingkungan sempit kita untuk mengenal dunia lain.
Ada banyak hal indah yang kita temukan dan membantu memperlebar horison kita, dan mengubah cara pandang dan cara paham kita.
Baca juga: Ramadan Leadership Camp, 411 Anak Muda di Banten Dipersiapkan Jadi Calon Pemimpin
Yang kita takut-takutkan sebelumnya tidak harus semuanya benar.
Saya berdoa semoga hari-hari dan malam-malam ke depannya lebih panjang, biar masih bisa tinggal lebih lama di sini.
Kata orang, kalau mau kembali lagi ke Roma, harus buang koin-koin kecil di Fontana di Trevi dengan posisi membelakanginya.
Mau coba deh.
Jangankan sekali, bisa berkali-kali.
Mumpung masih punya banyak koin euro kecil di celengan.. Hehee...
Deni Iskandar
Pemuda asal Pandeglang, Banten, mahasiswa Yayasan Nostra Aetate, Vatikan.
Ia adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Anggota Gerakan Pemuda Ansor.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.