Daftar Pasal dalam Draf RUU TNI Berpotensi Kembalikan Dwifungsi ABRI Bak di Masa Orba Versi YLBHI

YLBHI merilis daftar pasal dalam RUU TNI yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI

Editor: Abdul Rosid
Tribunnews
KHAWATIRKAN DWIFUNGSI ABRI - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. YLBHI menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI seperti terjadi di masa Orde Baru. 

TRIBUNBANTEN.COM - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis daftar pasal dalam revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI seperti terjadi di masa Orde Baru.

Sebagaimana diketahui, YLBHI menjadi salah satu kelompok yang menolak secara tegas RUU TNI.

"YLBHI dengan tegas menolak revisi UU TNI yang akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru," kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Minggu (16/3/2025).

Baca juga: Kantor KontraS Diteror Tiga OTK, Diduga Buntut Aksi Geruduk Rapat Revisi UU TNI

YLBHI menilai revisi ini bertentangan dengan agenda reformasi yang menegaskan TNI harus tetap profesional sebagai alat pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan politik, ekonomi, dan hukum.

Dalam draf revisi, terdapat sejumlah pasal yang dianggap bermasalah karena berpotensi mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Setidaknya ada empat poin utama yang menjadi perhatian YLBHI.

1. Memperpanjang Masa Pensiun, Menambah Penumpukan Perwira Non-Job, dan Penempatan Ilegal Perwira Aktif di Jabatan Sipil

Draf revisi Pasal 71 mengusulkan perpanjangan usia pensiun perwira TNI hingga 62 tahun.

Menurut YLBHI, hal ini berisiko menambah jumlah perwira non-job, yang dalam praktiknya sering kali dimobilisasi ke lembaga negara dan BUMN.

Akibatnya, profesionalitas dan efektivitas lembaga-lembaga tersebut terganggu.

Isnur menjelaskan, Ombudsman mencatat pada tahun 2020 terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan.

Di antaranya 27 anggota TNI aktif dan 13 anggota Polri aktif. Tren ini berlanjut dengan penunjukan Mayjen Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog serta perwira aktif lainnya di PT PINDAD, PTDI, dan PT PAL, yang bertentangan dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004.

2. Perluasan Jabatan Sipil bagi Perwira TNI Aktif, Mengancam Supremasi Sipil, Profesionalisme, dan Independensi TNI

Draf Pasal 47 memperbolehkan perwira aktif menduduki jabatan di setidaknya 13 kementerian dan lembaga negara, termasuk Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

Padahal, sebelumnya aturan hanya memperbolehkan perwira aktif mengisi jabatan sipil di 10 lembaga yang relevan atau telah pensiun atau mengundurkan diri.

Meluasnya peran TNI di luar tugas pertahanan dinilai berisiko menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan melemahkan supremasi sipil.

"Hal ini sangat beresiko, mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut."

"Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum," ujar Isnur.

3. Membuka Ruang Campur Tangan Militer dalam Politik dan Keamanan Negara

Revisi UU memberi wewenang bagi TNI untuk mengisi posisi strategis di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara. 

Ini membuka peluang intervensi militer dalam politik domestik dengan alasan menjaga stabilitas keamanan.

Langkah ini bertentangan dengan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengamanatkan TNI agar bersikap netral dalam politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Sebagai alat negara, TNI seharusnya mendukung demokrasi, menjunjung tinggi hukum, dan menghormati hak asasi manusia, bukan mengambil peran dalam pemerintahan sipil.

4. Menganulir Peran DPR dalam Pengambilan Keputusan Operasi Militer Selain Perang

Draf revisi Pasal 7 mengatur operasi militer selain perang, tetapi melemahkan mekanisme pengawasan oleh DPR. 

Dalam aturan sebelumnya, operasi ini memerlukan persetujuan DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat. Namun, draf baru mengizinkan pelaksanaan operasi cukup dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

Pasal 7 ayat (4) menyebut bahwa pelaksanaan operasi militer selain perang hanya membutuhkan regulasi dari eksekutif, kecuali untuk ayat tertentu.

Pasal Ini memberikan kekuasaan besar kepada presiden tanpa mekanisme check and balance, bertentangan dengan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang menegaskan bahwa kebijakan politik negara harus menjadi dasar bagi tugas TNI.


Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved