Opini
Pinjam Bendera Perusahaan Lain Dalam Dunia Kontraktor, Ketahui Risiko Hukum dan Perpajakan
Meski terlihat sebagai solusi praktis, kebiasaan pinjam bendera menyimpan banyak risiko, baik dari sisi hukum maupun perpajakan
Hal ini mengacu pada ketentuan dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dari sisi perpajakan, kebiasaan ini menimbulkan ketidaksesuaian antara pelaksanaan proyek dan laporan pajak.
Karena dana proyek masuk ke rekening perusahaan pemilik bendera, sementara pelaksana proyek tidak tercatat secara resmi, maka laporan pajak menjadi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Ini berpotensi memicu audit dan koreksi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Salah satu risiko utama adalah ketidaksesuaian pelaporan Pajak Penghasilan (PPh).
Penghasilan dari proyek dilaporkan oleh perusahaan pemilik bendera, padahal biaya operasional ditanggung oleh pihak peminjam.
Ketidaksesuaian ini bisa menimbulkan koreksi pajak, denda, bahkan sanksi pidana jika ditemukan unsur kesengajaan.
Mulai tahun 2025, risiko ini semakin besar karena ambang batas omzet wajib Pengusaha Kena Pajak (PKP) diturunkan drastis dari Rp4,8 miliar menjadi Rp600 juta.
Hal ini meningkatkan potensi terjadinya faktur pajak fiktif atau tidak sesuai, yang bisa terkena sanksi administratif hingga 2 persen dari dasar pengenaan pajak.
Dampak pada Keuangan dan Operasional Selain risiko hukum dan pajak, kebiasaan pinjam bendera juga menyulitkan pelaku usaha dalam mengelola pembukuan dan arus kas.
Karena dana proyek masuk ke rekening perusahaan lain, pelaksana proyek tidak memiliki kontrol penuh atas keuangan dan tidak bisa mencatat transaksi secara sah dalam laporan keuangannya.
Akibatnya, mereka kesulitan menyusun laporan keuangan, mengajukan pinjaman, atau mengikuti proyek lain secara legal.
Kondisi ini juga menyulitkan pengusaha dalam membangun reputasi bisnis.
Tanpa rekam jejak resmi, mereka tidak bisa menunjukkan portofolio proyek yang telah dikerjakan, sehingga sulit bersaing secara sehat di masa depan.
Mengapa Praktik Ini Terjadi? Ada dua alasan utama mengapa kebiasaan ini masih marak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.