Pada awalnya, Menara Masjid Agung Banten berbentuk kotak seperti menara masjid di Kasunyatan.
Pada masa Sultan Abu Nasar Abdul Qohar, bangunan menara dirancang kembali dan diubah dengan bantuan Hendrik Lucas Cardeel, arsitek keturunan Portugis berkebangsaan Belanda.
"Cardeel merancang bangunan menjadi segi delapan. Jika dilihat sekilas, menara ini bentuknya seperti pagoda di Thailand, sedikit miring," ujar perempuan yang akrab disapa Hani ini.
Menara Masjid Agung Banten menggambarkan perpaduan kekayaan budaya Indonesia dan bentuk akulturasi.
Hal ini dapat dilihat pada ornamen atau hiasan menara.
Secara gaya bangunan, Menara Masjid Agung Banten ini bergaya arsiteksur doric atau gaya Eropa.
Adapun mastaka yang terletak di puncak menara berwarna merah, khas warna etnis Tionghoa.
Penggunaan warna merah ini dapat dikatakan bentuk pengaruh Tionghoa, serta dapat diartikan sebagai sebuah keberanian dan kekuatan.
Baca juga: Menara Masjid Jami Ar-Ruhama Pandeglang Mirip Masjid Agung Banten, Pernah Direnovasi pada Abad Ke-19
Adapun warna dasar menara sejak lama digunakan sebagai warna dominannya adalah putih yang mengandung arti bersih atau suci.
Pewarnaan putih pada masa lalu adalah dengan menggunakan kapur putih.
Bangunan-bangunan di sekitar kawasan Banten lama ini sebagaimana dalam babad Banten disebutkan satu istilah gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis.
Artinya, membangun kota dan perbentengan dengan menggunakan batu bata dan batu karang.
Penggunaan bahan-bahan tersebut di menara masih bisa dilihat pada bagian anak tangga menara.
Susunan anak tangga menara untuk menuju puncak adalah batuan karang dengan perekat pasir, kapur atau tanah lempung.
Baca juga: Kawasan Masjid Agung Banten Lama Diterjang Banjir, Kopassus Turun Tangan Mengevakuasi Warga
"Bahan-bahan alam yang seperti ini lebih tahan lama dan kuat dibandingkan material bangunan zaman sekarang, bisa dilihat pada Keraton Surosowan yang masih ada peninggalannya," ucap Hani.