Batu bata dan batu karang mendominasi bangunan menara dibandingkan batuan andesit sebagai fondasi di bagian dasar.
Pada abad 16 dan 17, perekat bangunan menggunakan pasir, tanah lempung, kapur, dan lendir-lendir kerang laut.
Selain itu, juga kulit kerang yang ditumbuk dan diberi air yang menjadi bahan perekat bangunan.
"Batuan tangga untuk menuju puncak menara itu disusun seperti itu dengan perekat alami," kata Hani.
Menara Masjid Agung Banten dilengkapi dengan delapan ventilasi udara untuk cahaya atau sirkulasi udara.
Masing-masing bentuk ventilasi mirip tanda plus dengan gerigi berjumlah delapan kotak.
Di dalam Menara Masjid Agung Banten memiliki lebar sekitar 30 sentimeter dan tangganya hanya bisa dilalui satu orang.
Kondisi tangga menara berlekuk memutar mengikuti bentuk menara dan berkelok tajam.
Di dalamnya tidak ada lampu penerangan, hanya mengandalkan delapan ventilasi yang ada pada menara.
Pintu masuk menara menghadap utara karena terdapat jembatan rantai yang digunakan sebagai tempat pemungutan pajak pada masa kesultanan.
Ketika kapal-kapal akan lewat di jembatan, orang harus membayar pajak terlebih dahulu.
Menurut Hani, kemungkinan di bagian utara ini merupakan pintu masuk utama ke dalam masjid dari arah laut dan kanal.
Baca juga: Meski Ditutup, Masih Ada Warga yang Berziarah di Kawasan Masjid Agung Banten Lama
Di bagian barat menara, terdapat masjid, pendopo masjid, dan tiamah.
Di bagian timur menara terdapat Istana Surosowan sekaligus sebagai istana yang dilengkapi dengan paseban dan juga pasar pada saat itu.
Di bagian selatan menara terdapat aliran-aliran kanal yang banyak dilalui perahu-perahu atau sampan-sampan kecil.