Pimpinan Komisi III DPR RI Minta Jaksa Segera Tangkap dan Penjarakan Silfester Matutina

Editor: Ahmad Haris
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni merespons soal belum juga dieksekusinya terpidana kasus pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) yakni Silfester Matutina.

TRIBUNBANTEN.COM - Belum dieksekusinya terpidana kasus pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) yakni Silfester Matutina, mendapat sorotan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni.

Komisi III DPR RI adalah salah satu dari tiga belas komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang memiliki tugas utama di bidang penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan nasional.

Ahmad Sahroni menilai, status hukum Silfester yang kini sudah inkrah dengan hukuman pidana 1,5 tahun sejak 2019 itu seharusnya bisa langsung dieksekusi, dengan menjebloskan yang bersangkutan ke penjara.

Baca juga: Luruskan Pernyataan Kubu Silfester Matutina, Mahfud MD Minta Kejagung Segera Eksekusi Terpidana

Silfester Matutina yang dikenal sebagai Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) dan relawan pendukung Presiden ke-7 Jokowi, dilaporkan atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) melalui orasi publik pada tahun 2017.

"Tangkep penjarain. Kalau memang udah incrah laksanain kecuali kalau dibilang ada perdamaian atau apa lah itu lain hal. Tapi kalau sesuai hukum pidana yang sudah incraht maka itu harus dijalankan," kata Sahroni saat ditemui awak media di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).

Menurut Bendahara Umum (Bendum) DPP Partai NasDem tersebut, persoalan terhadap Silfester Matutina merupakan hal yang mudah.

Dimana kata dia, Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan bisa langsung menangkap yang bersangkutan lantaran keberadaannya yang ada di Tanah Air.

"Tangkap. Penjarain. Sesimple itu gampang kok," ujar legislator yang mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta III itu.

Terhadap perkara yang menjerat Silfester, Sahroni lantas meminta hal ini menjadi pelajaran bagi seluruh elemen.

Dirinya meminta, agar setiap pihak tidak mudah terpancing emosi dan tidak menyuarakan suatu hal yang tidak pantas atau tidak perlu.

"Nah ini kan kebanyakan kita mengedepankan rasa emosi dengan mengucapkan hal hal yang tidak sesuai faktanya setelah disidang di laporin tidak terbukti udahannya ujungnya gelegepan," kata dia.

Atas perkara ini, Sahroni menyerahkan proses hukum tersebut kepada aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini Kejari untuk segera melakukan eksekusi.

APH kata dia, harus patuh pada keputusan hukum yang dalam statusnya sudah berkekuatan tetap.

"Kita minta aparat penegak hukum lakukan seusai perintah persidangan kan sudah incraht. Itu tergantung nanti jaksa lakukan eksekusi. Kita berharap lakukan lah dengan koridor hukum yang ada," tandas dia.

Kronologi Kasus

- Mei 2017: Silfester melakukan orasi di depan Mabes Polri, menuduh JK dan keluarganya terlibat korupsi dan memainkan isu SARA demi kepentingan politik.

- 2019: Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Silfester setelah proses kasasi.

- 2025: Meski vonis telah inkrah sejak 2019, Silfester belum dieksekusi, memicu kritik dari publik dan tokoh hukum seperti Mahfud MD.

Mahfud Sebut Kejaksaan Melindungi

Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan sekalipun Jusuf Kalla sudah memaafkan, karena kasus ini inkrah maka Silfester tetap mesti menjalani hukuman.

"Damai itu urusan pribadi. Kalau orang terpidana itu musuhnya bukan orang yang menjadi korban. Tetapi musuh orang terpidana itu adalah negara," kata Mahfud.

Menurut Mahfud negara itu diwakili oleh kejaksaan.

"Jadi kalau ditanyakan siapa yang melindungi? Saya menyalahkan kejaksaan gitu. Siapa menyuruh kejaksaan? Ya, kita tidak tahu kan gitu kan. Pasti harus diasumsikan kejaksaan ini tahu," kata Mahfud,

Mahfud mengaku memiliki data tahun 2025, dimana sejumlah orang yang hendak menghindari hukuman ditangkap kejaksaan.

"Masa ini yang riwa-riwi di depan hidung kita gak ditangkap. Kan Kejaksaan tuh punya tim tabur namanya tim tangkap buronan atau tim tangkap orang kabur. Tim ini yang nangkap orang-orang ini tadi. Nah, oleh sebab itu kejaksaan harus segera melakukan eksekusi atas ini ya," kata Mahfud.

Sebenarnya, menurut Mahfud eksekusi harus langsung dijemput tanpa  usah dipanggil lagi.

"Orang ini sudah 6 tahun lolos gitu kan," kata Mahfud.

Mahfud menjelaskan akan menyatakan secara formal bahwa Silfester tidak ditangkap karena kejaksaan melindungi.

"Melindungi dalam bentuk apa? Lalai. Kalau betul-betul melindungi secara sengaja pasti ada yang menyuruh. Kemungkinannya ada atasan yang membacking, kemungkinannya suap. Apalagi coba? Nah, untuk mengusut ini logika umum. Kejaksaan dong harus bertanggung jawab kepada publik," ujarMahfud.

Menurut Mahfud untuk dirunut siapa pihak yang membuat Silfester tidak dieksekusi bisa ditelusuri,

"Siapa pejabatnya, kenapa ini tidak segera dieksekusi gitu? Nanti akan ketemu itu siapa yang memesan. Apakah ini pemain politik atau pemimpin pemerintahan, menteri atau apa," kata Mahfud.

"Itu harus diusut, karena ini bahaya kalau ini dibiarkan. Orang boleh bertanya seperti Anda bertanya tadi loh. Pak Mahfud, Anda kok diam saja pada saat Anda di situ (jabat Menko Polhukam)?" katanya.

"Loh kasus ini gak muncul. Kalau saya sudah tahu saat itu, muncul ya, saya pasti berteriak agar segera dieksekusi. Menteri kok gak tahu? Ya gak tahu. Itu kan bukan urusan Menko, untuk tahu semua urusan yang ada dari Sabang sampai Merauke," kata Mahfud.

Menurutnya urusan Menko Polhukam adalah yang muncul dan menjadi problem pelaksanaan di lapangan.

"Urusan Menko itu hanya muncul dan menjadi problem pelaksanaan di lapangan, konflik sehingga dikoordinasikan. Kalau ini gak ada. Tiba-tiba muncul sekarang, sesudah terjadi pergantian politik," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan seorang Menko itu tidak harus tahu semuanya.

"Kecuali ada laporan di saat itu atau muncul sebagai isu yang panas di tengah-tengah masyarakat. Baru seorang Menko itu mengkoordinasikan agar semua jalan," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud, Silfester tidak perlu lagi dipanggil melainkan langsung dijemput paksa. 

"Tangkap dulu, atau jebloskan dulu ini eksekusi si Matutina ini," katanya.

 Kemudian, kata Mahfud, Kejaksaan Agung harus mengadakan penyelidikan ke dalam dan menjelaskan kepada publik.

Ketahuan Tidak Dihukum Meski Sudah Divonis, Relawan Jokowi, Silfester Matutina Tiba-tiba Ajukan PK

Relawan Jokowi yang juga Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina, tiba-tiba mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK), terkait kasus fitnah kepada Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, dimana Silfester sudah diputus bersalah pada 2019 lalu.

Hal itu dilakukan oleh Silfester Matutina, di tengah kasusnya yang kembali menjadi sorotan, karena tidak kunjung dieksekusi. 

Untuk diketahui, dalam kasus fitnah itu, Silfester Matutina divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan sudah berkekuatan hukum tetap.

Namun selama 6 tahun, Silfester tidak juga dieksekusi kejaksaan dan hal ini kembali diungkap ke publik oleh Roy Suryo Cs.

Kini, diketahui Silfester sudah mengajukan PK dan sidang perdananya akan digelar 20 Agustus 2025.

"Betul, sudah mendaftarkan PK," ujar Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rio Barten, dilansir dari laman VOI, Senin (11/8/2025).

"Telah dijadwalkan Sidang pemeriksaan PK pada tanggal 20 Agustus 2025," tambah Rio.

Diketahui Silfester Matutina  resmi mengajukan permohonan PK pada 5 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan itupun telah diterima.

Permohonan peninjauan kembali (PK) diajukan ke Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, biasanya Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, meskipun permohonan tersebut ditujukan kepada Mahkamah Agung.

Jadi, prosesnya dimulai dengan mengajukan permohonan ke pengadilan yang sama yang menangani perkara tersebut pada tingkat pertama, dan kemudian pengadilan tersebut akan meneruskannya ke Mahkamah Agung untuk diproses lebih lanjut. 

Sementara itu Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna menyatakan bahwa pengajuan PK tidak mengganggu atau menunda proses eksekusi penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap.

"Pada prinsipnya PK tak menunda proses eksekusi," ujar Anang, Senin.

Terkait proses eksekusi, kata Anang akan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, secepatnya.

"Terkait Silfester kan ini sudah inkrah perkaranya dan menjadi kewenangan daripada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selaku jaksa eksekutornya," kata Anang.

Dalam laman resmi Mahkamah Agung (MA), Silfester Matutina divonis 1 tahun 6 bulan atas kasus pidana umum pada 2019 yakni fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, 

Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 dibacakan pada 20 Mei 2019, dengan Hakim Ketua H Andi Abu Ayyub Saleh, Hakim Anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh.
 
Dalam Putusan MA ini disebutkan Silfester dikenakan dakwaan pertama Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 1 KUHP.

Namun, hingga kini atau sejak putusan itu dibacakan 6 tahun lalu, pihak Kejaaksaan tak kunjung melakukan eksekusi penahanan terhadap Silfester Matutina.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pimpinan Komisi III DPR RI Soroti Proses Hukum Silfester Matutina, Sahroni: Tangkap, Penjarakan

Berita Terkini