Situasi Indonesia 2020 Disebut Mirip 1998, Orang Kota Mulai Pindah ke Desa

Pakar Transportasi Kerakyatan, Darmaningtyas, ingat betul fenomena besar yang terjadi sekitar 22 tahun lalu saat krisis ekonomi terjadi.

Editor: Glery Lazuardi
istimewa
Ilustrasi Petani 

TRIBUNBANTEN.COM, JAKARTA - Pakar Transportasi Kerakyatan, Darmaningtyas, ingat betul fenomena besar yang terjadi sekitar 22 tahun lalu saat krisis ekonomi terjadi.

Fenomena itu adalah kembalinya orang urban ke desa secara berbondong-bondong.

Hal yang membuat orang urban pulang tak lain karena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran dari perusahaan.

Orang urban yang pulang itu lantas membelanjakan pesangonnya untuk membeli sepeda motor. Mereka banting setir menawarkan jasa ojek.

“Baik di desa maupun ketika kembali ke kota setelah perekonomian pulih,” kata Darmaningtyas dalam webinar KAGAMA Inkubasi Bisnis (KIB) XV yang digelar Pengurus Pusat Keluarga Aumni Universitas Gadjah Mada (PP KAGAMA), dalam keterangannya, Rabu (14/10/2020).

“Makanya ojek di Jakarta meledak sehabis krisis,” terang alumnus Fakultas Filsafat UGM angkatan 1982 tersebut.

Baca juga: Peran UMKM untuk Bantu Pertumbuhan Ekonomi Banten yang Minus Akibat Pandemi Covid-19

Baca juga: Curhat Pelaku UKM, Penghasilan Menurun Hingga 80 Persen, Bantuan Pemerintah Tak Tepat Sasaran

Darma melihat, fenomena sama terjadi pada krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini.

Orang-orang desa yang merantau ke kota pulang ke kampung halamannya.

Artinya, kata Darma, desa selalu menjadi penyelamat dari kehidupan kota.

Hanya saja, desa punya problem serius.

Misalnya, sebelum ada Dana Desa, infrastruktur jalan tidak memadai.

Kemudian, desa tidak tersedia jaringan transportasi pedesaan.

Baik untuk mobilitas orang maupun produk peternakan, pertanian, dan perikanan.

Hal ini membuat produk hanya bisa dipindah melalui tenaga manusia yang terbatas dan produktivitasnya tak mampu dipacu.

“Lalu, desa juga kurang mendapat perhatian dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN),” ujar Darma.

“Budaya komunalitas di desa masih tinggi. Sehingga, semua aktivitas tidak bisa murni ekonomi,” terang Direktur Studi Transportasi tersebut.

Baca juga: Isu Ketimpangan Ekonomi dan Sosial Harus Jadi Perhatian Bagi Perusahaan

Baca juga: Curhat Pelaku Usaha Kafe: Sedih Kalau Diceritain

Darma menyayangkan RPJMN 2014-2019 dan RPJMN 2020-2024 karena tidak memasukkan desa sebagai salah satu cakupan pembangunan infrastruktur.

Dia berharap RPJMN terbaru dapat direvisi mumpung baru satu tahun berjalan. Sebab, sebagai penyelamat kehidupan kota, desa butuh jaringan transportasi yang baik.

“Transportasi pedesaan perlu memperoleh perhatian,” tutur Darma, yang lahir di Gunungkidul.

Darma juga memberi kritik karena subsidi angkutan umum belum menyasar pedesaan.
Subsidi baru diperuntukkan pada angkutan bus perintis, angkutan umum perkotaan, dan angkutan umum di kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN).

Menurutnya, tanpa ada subsidi, angkutan umum baik di pedesaan maupun perkotaan tidak akan jalan.

Dalam penjelajahannya ke lebih dari 300 kabupaten dan kota di Indonesia, Darma menemukan satu fakta yang sama.

Yakni sebagian besar orang-orang di desa terpaksa menumpang kendaraan yang seharusnya untuk angkutan barang.

Angkutan itu seperti truk, mobil pick up bak terbuka, dan sepeda motor roda tiga yang tidak terjamin keselamatan penumpangnya.

“Termasuk juga yang menggunakan sarana transportasi air. Tentu yang digunakan adalah angkutan yang tidak berkeselamatan,” kata Darma.

“Hal ini menjadi tugas kita bersama untuk menyelesaikannya. Ke depan tidak boleh ada angkutan seperti ini,” tandas pria berumur 58 tahun ini.

Baca juga: Berawal dari Warung Kaki Lima, Pengusaha Kuliner dan Pengacara Ingatkan Kepedulian kepada Sesama

Baca juga: Dampak Covid-19 di Pasar Rau, Jualan Dimakan Sendiri, Penjual: Orang Takut Beli Buah

Fakta lain yang dijumpai Darma di desa-desa adalah para pelajar belum cukup umur beralih menggunakan sepeda motor.

Dia lantas teringat dengan angkutan desa masa lalu yang sebetulnya masih bisa dimanfaatkan untuk sekarang.

Yakni mobil colt yang punya kursi duduk penumpang di sisi kiri dan kanan, serta bisa mengangkut produk di antara kursi duduk penumpang.

Di sisi lain, Darma ingin agar daerah di luar jawa juga mendapat perhatian sama.

“Supaya kalau mau membeli sesuatu atau mengangkut produk, mereka tidak mengalami hambatan soal transportasinya,” kata Darma.

“Ini mayoritas di luar Jawa, terutama yang transportasinya berbasis sungai dan laut,” terangnya.

Menurut Darma, belum adanya grand design transportasi pedesaan membuat potensi pengembangan desa tidak optimal.

Baik dalam mendistribusikan produk-produk pertanian, maupun untuk memfasilitasi tumbuhnya wisata budaya dan alam.

Misalnya, petilasan Kembang Lampir di Gunungkidul yang menurut Darma perlu mendapat perhatian dalam akses transportasi.

“Selain untuk sarana mobilitas dan pengangkutan produk pertanian, transportasi juga dapat membangun reproduksi sosial dan budaya masyarakat desa,” kata Darma.

“Transportasi pedesaan bisa dikelola oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Dalam mengembangkan transportasi pedesaan, prinsipnya tidak boleh mengabaikan keselamatan.”

“Fleksibel, terjangkau harganya, dan terjangkau tarifnya,” beber lelaki yang berulang tahun tiap 9 September ini.

Baca juga: Petani Keluhkan Buruknya Kondisi Ekonomi, Inovasi dan Pengembangan Bisnis Jadi Solusi

Baca juga: Petani Keluhkan Buruknya Kondisi Ekonomi, Inovasi dan Pengembangan Bisnis Jadi Solusi

Darma berharap, masing-masing desa kini mulai berpikir untuk membuat grand design transportasi pedesaan.

Pembangunan infrastruktur desa dapat menahan warganya agar tidak seluruhnya menjadi kaum urban.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved