Sengketa FPI-PTPN, Konsorsium Pembaruan Agraria Beberkan Asal Tanah, Berpotensi Langgar Aturan

Terjadi permasalahan menyangkut tanah antara pihak Front Pembela Islam (FPI) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII .

Editor: Glery Lazuardi
TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy
Markaz Syariah sekaligus Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Front Pembela Islam (FPI) di Megamendung. 

TRIBUNBANTEN.COM, JAKARTA - Terjadi permasalahan menyangkut tanah antara pihak Front Pembela Islam (FPI) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII .

Masalah ini menyangkut tanah yang didirikan sebagai Pondok Pesantren Markaz Syariah Agrokultural.

PTPN melayangkan somasi terhadap pondok pesantren itu dengan nomor SB/11/6131/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020. PTPN meminta Markaz Syariah untuk menyerahkan lahan paling lambat tujuh hari kerja sejak diterima surat tersebut.

Menanggapi permasalahan itu, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, dugaan penyerobotan lahan PTPN VIII oleh FPI adalah kasus lama.

Menurut dia, kasus itu dilaporkan ke Polda Jawa Barat pada beberapa tahun lalu.

“Kemudian kasus ini menghilang dan sekarang mencuat lagi,” ujarnya.

Iwan, berdasarkan pernyataan Muhammad Rizieq Shihab dan sejumlah pihak di FPI, menyebut bahwa FPI mengakui lahan yang dikuasainya milik PTPN.

“Lahan itu digarap oleh orang perorang lalu dibeli FPI atau MRS,” ujarnya.

Akad itu, menurut Iwan, tidak dapat dibenarkan menurut hukum Indonesia.

Sebab, pemegang hak atas tanah adalah PTPN VIII.

Baca juga: Sikap BEM UI Soal Pembubaran FPI, Ironi SKB Menteri dan Pembubaran Ormas yang Langgar HAM

Baca juga: Rekening Rp 1 Miliar Milik FPI Diblokir, Kuasa Hukum: Organisasi Dibubarkan, Uang Digarong

Dengan demikian, akad terkait lahan harus dilakukan oleh PTPN VIII.

Alasan FPI bahwa akadnya hanya pengalihan penggarapan juga tidak bisa diterima.

Sebab, fakta di lapangan menunjukkan FPI tidak hanya menanami lahan dengan aneka tumbuhan. FPI membuat aneka bangunan.

Padahal, jelas sertifikat Hak Guna Bangunan (HGU) diberikan karena lahannya dipakai untuk usaha perkebunan, pertanian, peternakan, tambak perikanan.

Sementara untuk bangunan, maka sertipikat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB).

Sumber: Tribunnews
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved