Sengketa FPI-PTPN, Konsorsium Pembaruan Agraria Beberkan Asal Tanah, Berpotensi Langgar Aturan

Terjadi permasalahan menyangkut tanah antara pihak Front Pembela Islam (FPI) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII .

Editor: Glery Lazuardi
TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy
Markaz Syariah sekaligus Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Front Pembela Islam (FPI) di Megamendung. 

"Tanah ini, Saudara, sertifikat HGU-nya atas nama PTPN, salah satu BUMN. Betul, itu tidak boleh kita mungkiri. Tapi tanah ini sudah 30 tahun lebih digarap oleh masyarakat. Tidak pernah lagi ditangani oleh PTPN. Catat itu baik-baik," katanya.

Habib Rizieq lantas berbicara tentang UU tentang Agraria. Menurut dia, jika ada tanah yang telantar selama 20 tahun, tanah itu bisa menjadi milik penggarap.

"Saya ingin garis bawahi, ada UU di negara kita, satu UU Agraria. Dalam UU Agraria tersebut disebutkan, kalau satu lahan kosong atau telantar digarap masyarakat lebih dari dua puluh tahun, maka masyarakat berhak untuk membuat sertifikat, Saudara," ujar Rizieq.

"Ini bukan 20 tahun lagi, tapi 30 tahun, Jadi masyarakat berhak tidak? (dijawab berhak oleh pendengar). Bukan ambil tanah negara," katanya.

Baca juga: Maklumat Kapolri Larang Sebar Konten FPI, Dewan Pers: Pers Berhak Memberitakan Sesuai Kode Etik

Kirim Somasi

Saat dikonfirmasi PTPN VIII mengaku telah mengajukan surat somasi untuk FPI terkait keberadaan Ponpes Alam Agrokultural Markaz Syariah di Megamendung.

PTPN menyatakan ponpes tersebut berdiri di atas lahan PTPN VIII.

Bahkan surat somasi diberikan kepada seluruh pihak yang menempati tanah PTPN VIII di kawasan perkebunan Gunung Mas, Puncak, Bogor, Jawa Barat.

"Dengan ini kami sampaikan bahwa PT Perkebunan Nusantara VIII telah pembuatan surat somasi kepada seluruh okupan di wilayah perkebunan Gunung Mas, Puncak," ujar Sekretaris Perusahaan PTPN VIII Naning DT.

Dalam surat somasinya, ditegaskan bahwa lahan yang dikuasai merupakan aset PTPN VII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.

Ahli Hukum Agraria Universitas Andalas, Profesor Kurnia Warman, menjelaskan bahwa secara hukum jikalau jangka HGU sudah habis maka tanahnya jatuh ke tanah negara.

"Dan tanah negara memang menjadi objek yang akan diberikan kepada orang atau badan hukum yang membutuhkan sesuai ketentuan," jelas Kurnia.

Baca juga: Rizieq Shihab Sudah Tahu Pelarangan FPI, Instruksi Tempuh Jalur Hukum, Pengacara: Jangan Dipersulit

Andai kata HGU-nya masih berlaku tetapi ditelantarkan, dikatakan Kurnia, tanah tersebut juga jatuh ke tanah negara. Katanya, tanah yang telah jatuh ke tanah negara secara hukum tak lagi bisa disebut sebagai aset.

"Tanah yang sudah jatuh ke tanah negara secara hukum tidak dapat lagi dikatakan sebagai aset. Jadi untuk jawaban hukumnya secara valid, harus dipastikan terlebih dahulu posisi hukumnya dalam kasus ini," kata dia.

Dalam surat somasi bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tanggal 18 Desember 2020 itu, PTPN VIII memberikan waktu tujuh hari kerja bagi Markaz Syariah FPI untuk menyerahkan lahan tersebut.

Sumber: Tribunnews
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved