Kisah Madjohan, Dulu Beperang Melawan Belanda, Kini Berjualan Sapu Lidi untuk Bertahan Hidup

Kisah Madjohan seorang pedagang sapu di Kota Serang, dulunya pernah ikut berjuang melawan belanda.

Penulis: mildaniati | Editor: Amanda Putri Kirana
TRIBUNBANTEN.COM/MILDANIATI
Madjohan seorang pedagang sapu di Kota Serang, dulunya pernah ikut berjuang melawan belanda. 

Laporan Wartawan TribunBanten.com, Mildaniati

TRIBUNBANTEN, KOTA SERANG - Madjohan, pedagang sapu lidi di Kota Serang, tengah duduk di bawah pohon sambil menunggu pembeli, Senin (2/8/2021).

Saat itu posisinya tepat berada di pertigaan jalan menuju kantor Pemerintahan Kota Serang, yakni Jalan Jendral Sudirman, Kecamatan Serang.

Tampak ia mengenakan kemeja panjang dan celana warna merah bergaris putih, dilengkapi peci hitam dan sandal coklat.

Kepada TribunBanten.com, Madjohan mengaku mulai berjualan sapu lidi sejak dua tahun lalu untuk mengais rezeki.

Ia berjualan hampir setiap hari mulai pukul 07.30 hingga 13.00. Pada hari Jumat ia libur untuk mengistirahatkan badannya.

Pada Senin hingga Kamis, ia biasa mangkal di pertigaan menuju kantor Pemerintahan Kota Serang.

Baca juga: Cerita Kakek Bilal Meninggal di Becak, Pilih Setia Hingga Akhir Hayat Daripada Obati Infeksi Corona

Sedangkan Sabtu dan Minggu, ia mencoba peruntungan dengan berjualan di komplek Kelapa Gading, KSB, dan lainnya.

Untuk sehari-harinya, Madjohan berjualan menggunakan gerobak sepeda yang diisi dengan 25 sapu.

Adapun karet ban serta jok sepeda dibungkus plastik hitam agar tidak sakit saat dikayuh.

Untuk mendapatkan gerobak sepeda tersebut, kakek 96 tahun itu membeli kerangka besi dan merangkainya sendiri.

Sementara sapu lidi yang dijual didapatkannya dari pengrajin di Kampung Ranca Lutung Palima.

Madjohan, pedagang sapu lidi di Kota Serang, tengah duduk di bawah pohon sambil menunggu pembeli, Senin (2/8/2021).
Madjohan, pedagang sapu lidi di Kota Serang, tengah duduk di bawah pohon sambil menunggu pembeli, Senin (2/8/2021). (TRIBUNBANTEN.COM/MILDANIATI)

Madjohan biasanya memesan sekitar 100 buah sapu lidi dan laku terjual selama 12 hari.

"Sehari menjual 5 hingga 10 sapu dengan harga satuannya Rp 10.000," katanya.

Sebelumnya, ia sempat berjualan buah-buahan keliling, namun berhenti lantaran usianya semakin senja dan tidak kuat berjalan jauh.

Akhirnya ia berjualan sapu di tempat karena dekat dengan kediamannya.

Di sela-sela obrolan, Madjohan mengungkapkan bahwa dahulu ia adalah seorang pejuang sejak 1924.

Baca juga: Cerita Kakek 83 Tahun Gagalkan Aksi Pencurian di Rumahnya, Melawan dan Bergumul dengan Maling

Kala itu usianya baru menginjak 16 tahun dan tengah ikut tinggal dengan kakak kandungnya di Jakarta.

Awalnya Madjohan merantau ke Jakarta untuk berdagang, namun akhirnya ikut berperang melawan Belanda.

Adapun pasukan peperangan dipimpin oleh Letnan Jumono asal Tasik.

Selama bertempur di wilayah Jakarta, Cikini, dan Pasar Rumput, ia mengaku hanya mengandalkan alat tempur bambu runcing.

Ia dan rekan-rekannya juga tak lupa mendatangi kyai atau tokoh agama  untuk minta didoakan sebelum bertempur.

"Alhamdulillah dari hasil doa itu pula meriam Belanda kalo ditembak nggak bunyi," tuturnya.

Tanda perjuangan Madjohan membela Tanah Air masih membekas hingga saat ini.

Tampak jari jemari di kaki kirinya melengkung serta kuku-kukunya terlepas.

Baca juga: Kakek Penjual Mainan Sedih Dagangannya Tak Laku Saat PPKM Darurat, Terkejut Saat Diborong Polisi

Menurutnya, hal tersebut terjadi akibat kakinya terkena tembakan saat berperang meski sudah dibaluti sepatu.

Saat ini Madjohan hidup sebatang kara dan tidak memiliki anak satu pun dari pernikahannya yang sebanyak 12 kali.

"Nikah udah, ada 12 istri, nggak punya anak," ucapnya.

Ia  tinggal seorang diri di Kampung Tegal Asem  RT 03/04 , Kelurahan Banjar Agung, Kecamatan Serang, Kota Serang.

Madjohan mengatakan jika memiliki anak, dirinya tidak ingin berdagang lantaran sudah merasa lelah.

Ia mengaku, dahulu memiliki warisan sawah seluas 2,5 hektar namun habis terjual untuk keperluan hidup sehari-hari.

"Untuk saat ini, hanya makan satu hari sekali dengan nasi Rp 10.000 karena uang tidak cukup,"

Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved