Filosofi di Balik Nama Gelora Geger Cilegon, Terkandung Pesan Sejarah Geger Cilegon 1888

Stadion di wilayah Kota Cilegon akan diberi nama Gelora Geger Cilegon. Nama Gelora Geger Cilegon merupakan penamaan yang dimenangkan oleh Bambang

Penulis: mildaniati | Editor: Glery Lazuardi
TribunBanten.com/Khairul Ma'arif
Sebuah sudut yang ada di Taman Kota Cilegon yang disinyalir menjadi tempat digantungnya para pejuang Kota Cilegon pasca peristiwa Geger Cilegon 9 Juli 1888 

Gelombang yang menghancurkan Anyer, Merak, dan Caringin tersebut merenggut kurang lebih 22.000 jiwa.

Musibah yang datang bertubi-tubi masih diperburuk oleh pemerintah kolonial yang melaksanakan sistem perpajakan yang baru.

Berbagai pajak dikenakan kepada penduduk, yaitu pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.

Di tambah lagi, kecurangan pegawai pemungut pajak membuat rakyat semakin resah dan membenci penjajah.

Akibat penderitaan tersebut, rakyat yang percaya takhayul mulai memberi sesajen di pohon kepuh besar yang dikeramatkan supaya permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dapat terkabul.

Seorang ulama bernama Haji Wasid yang tidak ingin membiarkan kemusyrikan kemudian menebang pohon tersebut.

Akibatnya, Haji Wasid dibawa ke pengadilan kolonial pada 18 November 1887 dan didenda karena melanggar hak orang lain.

Baca juga: Cristian Gonzales Memang Gila, Usia 45 Tahun Masih Mampu Cetak Hattrick, RANS Cilegon 4-3 Persis

Murid dan pengikut Haji Wasid semakin tersinggung saat mengetahui menara musala di Jombang Tengah dirubuhkan atas perintah Asisten Residen Goebels.

Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan mengganggu ketenagan masyarakat.

Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik, dan budaya inilah yang menyulut api perlawanan Geger Cilegon 1888.

Persiapan Geger Cilegon 1888

Sejak bulan Februari hingga April 1888, para ulama dari Serang, Banten, dan Tangerang mulai mengadakan pertemuan.

Mereka adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, dan Haji Ismail.

Pertemuan tersebut membahas mengenai ketersediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerak pengikut, serta pelatihan.

Pada 7 Juli 1888, diadakan pertemuan para kiai untuk persiapan terakhir pemberontakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved