Filosofi di Balik Nama Gelora Geger Cilegon, Terkandung Pesan Sejarah Geger Cilegon 1888
Stadion di wilayah Kota Cilegon akan diberi nama Gelora Geger Cilegon. Nama Gelora Geger Cilegon merupakan penamaan yang dimenangkan oleh Bambang
Penulis: mildaniati | Editor: Glery Lazuardi
Laporan Wartawan TribunBanten.com, Mildaniati
TRIBUNBANTEN, KOTA SERANG - Stadion di wilayah Kota Cilegon akan diberi nama Gelora Geger Cilegon.
Nama Gelora Geger Cilegon merupakan penamaan yang dimenangkan oleh Bambang Irawan.
Pemerintah Kota Cilegon melalui Dinas Pemuda dan Olahraga menggelar lomba itu sejak 6-13 Desember 2021.
Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Cilegon memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
terlibat dalam pemberian nama stadion baru itu.
Pengumuman pemenang dilakukan pada Rabu 15 Desember 2021. Di mana Bambang Irawan meraih gelar juara dan berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp 5 juta.
Baca juga: Pemuda Diskusi Sejarah Geger Cilegon di Tugu Siliwangi, Ketika Rakyat & Ulama Bersatu Usir Penjajah
"Iya, saya ikut sayembara penamaan stadion. Ada usulan nama," kata pria yang juga Sejarawan Cilegon itu kepada TribunBanten.com saat dikonfirmasi melalui pesan, pada Kamis (16/12/2021)
"Kemudian saya tulis stadion atau Gelora Geger Cilegon, kemarin sempat dibahas di gelanggang olahraga. Akhirnya, kemarin diputuskan namanya Stadion Geger Cilegon. Kemarin terpilih sebagai juara pertama,".
Dia mengungkapkan pemberian nama Stadion Geger Cilegon itu terinspirasi dari kisah heroisme rakyat Cilegon saat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
"Nama Geger Cilegon dipilih karena saya konsen mengangkat peristiwa sejarah dan di sering mengadakan workshop geger cilegon di rumah," ujarnya.
"Semenjak mendendar ada sayembara langsung terbersit menamai Geger Cilegon karena setiap hari saya bergelut dengan literasi Geger Cilegon," sambungnya.
Dia mengaku sudah mendalami kisah di balik peristiwa Geger Cilegon, sehingga saat lomba dibuka dia terpikir akan nama itu karena mewakili sejarah Cilegon.
Bambang bersaing dengan 150 peserta lainnya.
Melalui media sosial, dan dorongan dari temannya, Bambang pun semangat mengikuti sayembara.
"Saya melihat dari pemberitahuan ini beredar di media sosial dan banyak juga temen-temen yang kirim pemberitahuan ini ke saya agar saya ikut sayembara," paparnya.
Rencananya, uang pembinaan yang didapatkan di sayembara itu akan digunakan untuk perbaikan tempat lesehan Workshop Sejarah Geger Cilegon.
"Mau dipake buat benerin tempat lesehan untuk Workshop Sejarah Geger Cilehon, semoga aja biayanya mencukupi," tuturnya.
Selama ini dia aktif menggaungkan sejarah Geger Cilegon supaya melekat di kalangan masyarakat Cilegon dan sekitarnya.
Bahkan tak segan dia merogoh kocek dari kantongnya sendiri.
"Semoga, harapannya sejarah Geger Cilegon bisa terus terangkat," harapnya.
Baca juga: Taman Geger Cilegon, Tonggak Pengingat Perlawanan Rakyat Cilegon Melawan Penjajah
Geger Cilegon 1888
Seperti dilansir dari Kompas.com, Geger Cilegon 1888 adalah peristiwa pemberontakan petani Banten pada 9 Juli 1888
Antara 1882 dan 1884, rakyat Serang dan Anyer telah ditimpa dua malapetaka, yaitu kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak.
Hal itu disebabkan oleh musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan tanaman tidak tumbuh dan munculnya wabah pes.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial menginstruksikan untuk membunuh semua ternak, termasuk binatang yang tidak terkena penyakit.
Akibatnya, muncul kebencian rakyat terhadap pemerintah Belanda yang dianggap telah melakukan kekejian dan kesewenang-wenangan.
Sebab, bagi petani binatang ternak juga dianggap sebagai teman yang membantu pekerjaan mereka di sawah.
Karena jumlahnya sangat banyak, tidak semua ternak dapat dikubur, sehingga bangkainya ditemukan dimana-mana dan mengundang penyakit baru bagi rakyat.
Sebanyak 120.000 orang lebih tercatat telah terkena penyakit dan 40.000 di antaranya meninggal dunia.
Baca juga: Masjid Jami Al-Ijtihad, Tempat Pertemuan Ulama dan Kiai Banten Sebelum Pecah Peristiwa Geger Cilegon
Rakyat pun semakin sengsara saat Gunung Krakatau meletus pada 1883 dan menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter.
Gelombang yang menghancurkan Anyer, Merak, dan Caringin tersebut merenggut kurang lebih 22.000 jiwa.
Musibah yang datang bertubi-tubi masih diperburuk oleh pemerintah kolonial yang melaksanakan sistem perpajakan yang baru.
Berbagai pajak dikenakan kepada penduduk, yaitu pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.
Di tambah lagi, kecurangan pegawai pemungut pajak membuat rakyat semakin resah dan membenci penjajah.
Akibat penderitaan tersebut, rakyat yang percaya takhayul mulai memberi sesajen di pohon kepuh besar yang dikeramatkan supaya permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dapat terkabul.
Seorang ulama bernama Haji Wasid yang tidak ingin membiarkan kemusyrikan kemudian menebang pohon tersebut.
Akibatnya, Haji Wasid dibawa ke pengadilan kolonial pada 18 November 1887 dan didenda karena melanggar hak orang lain.
Baca juga: Cristian Gonzales Memang Gila, Usia 45 Tahun Masih Mampu Cetak Hattrick, RANS Cilegon 4-3 Persis
Murid dan pengikut Haji Wasid semakin tersinggung saat mengetahui menara musala di Jombang Tengah dirubuhkan atas perintah Asisten Residen Goebels.
Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan mengganggu ketenagan masyarakat.
Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik, dan budaya inilah yang menyulut api perlawanan Geger Cilegon 1888.
Persiapan Geger Cilegon 1888
Sejak bulan Februari hingga April 1888, para ulama dari Serang, Banten, dan Tangerang mulai mengadakan pertemuan.
Mereka adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, dan Haji Ismail.
Pertemuan tersebut membahas mengenai ketersediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerak pengikut, serta pelatihan.
Pada 7 Juli 1888, diadakan pertemuan para kiai untuk persiapan terakhir pemberontakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.
Para kiai yang hadir adalah Haji Sa'is, Haji Sapiuddin, Haji Madani, Haji Halim, Haji Mahmud, Haji Iskak, Haji Muhammad Arsad, dan Haji Tubagus Kusen.
Agar Belanda tidak curiga, pertemuan tersebut dilaksanakan pada suatu kenduri besar.
Kemudian setelah lewat tengah malam, para kiai tersebut menghadiri pertemuan kedua di rumah Haji Iskak dan bertemu dengan Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail.
Mereka memastikan bahwa pemberontakan akan dimulai pada 9 Juli 1888.
Baca juga: Jadwal RANS Cilegon FC di Babak 8 Besar Liga 2: Jumpa Persis Solo pada 15 Desember
Keesokan harinya, Haji Wasid dan Haji Ismail menemui murid-muridnya, sementara utusan-utusan yang lain dikirim ke berbagai daerah untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer.
Jalannya pemberontakan Geger Cilegon 1888
Pada 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan dari Jombang Wetan ke rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Mereka mengenakan pakaian putih dan membawa pedang serta tombak.
Pada malam harinya, mereka dipimpin oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail menuju Saneja, yang dijadikan sebagai pusat penyerangan.
Senin malam, 9 Juli 1888, serangan umum terhadap para pejabat pemerintah kolonial di Cilegon dimulai.
Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman memimpin serangan dari arah selatan, sementara Haji Wasid, Haji Usman, Haji Abdul Gani, dan Haji Nuriman menyerang dari utara.
Pasukan dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan tugas masing-masing.
Ada yang menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan, ada yang menyerbu kepatihan, dan ada yang menyerang rumah asisten residen.
Dalam keadaan yang sangat kacau tersebut, beberapa orang yang tidak disenangi rakyat berhasil ditumpas.
Mereka adalah Henri Francois Dumas (juru tulis asisten residen), Raden Purwadiningrat (ajun kolektor), Johan Hendrik Hubert Gubbels (asisten residen Anyer), Mas Kramadireja (sipir penjaga Cilegon), dan Ulri Bachet (kepala penjualan garam).
Kekacauan ini tidak dapat diatasi oleh Belanda dan Cilegon dapat dikuasai oleh para pemberontak.
Namun, seorang pembantu rumah tangga Gubbels berhasil melarikan diri ke Serang dan melaporkan kejadian itu.
Menanggapi hal itu, Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon bersama 40 serdadu untuk memadamkan pemberontakan.
Pada akhirnya, Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan 94 pemimpin perlawanan lainnya diasingkan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Geger Cilegon 1888: Latar Belakang dan Jalannya Perang"