Putusan MK soal Netralitas, Aliansi Masyarakat Minta Polri Tak Terlibat Politik Praktis

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan soal netralitas pejabat daerah, TNI, dan Polri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Editor: Glery Lazuardi
Danang Triatmojo/Tribunnews.com
Gedung Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan soal netralitas pejabat daerah, TNI, dan Polri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Putusan itu dibacakan pada Kamis (14/11/2024) lalu. 

TRIBUNBANTEN.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan soal netralitas pejabat daerah, TNI, dan Polri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Putusan itu dibacakan pada Kamis (14/11/2024) lalu. 

Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 itu menyebut, pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.

"Kami masyarakat Aliansi untuk Demokrasi meminta Kapolri menjaga netralitas Polri beserta jajarannya dalam pesta demokrasi Pilkada serentak khususnya Kabupaten Gowa," kata Ricky Rasodi, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Gowa untuk Demokrasi Jurdil, Selasa (19/11/2024).

Baca juga: Putusan MK soal Netralitas TNI dan Polri, PDIP: Angin Segar Bagi Pilkada Banten

Menurut dia, netralitas merupakan kewajiban bagi setiap anggota ASN, TNI, dan Polri untuk menjaga Pilkada  berlangsung aman dan lancar. 

Dia mengungkapkan netralitas Polri pada Pilkada ini sudah diatur dalam undang-undang no.2 tahun 2002 tentang kepolisian negara Republik Indonesia.

Di mana pada pasal 27 ayat (1) undang-undang tersebut secara tegas menyatakan Polri harus bersikap netral dalam politik dan tidak boleh terlibat kegiatan politik praktis.

"Selain itu ada juga peraturan kepolisian no.7 tahun 2002 pada pasal 4 huruf (h) menegaskan bahwa setiap pejabat POLRI wajib bersikap netral dalam politik, tidak memihak kepada salah satu pihak dalam Pilkada," kata dia. 

Aliansi Untuk Demokrasi meminta pejabat Kapolri dan jajaran untuk menaati peraturan tentang netralitas POLRI yaitu PP No.2 Tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota POLRI pasal 5; huruf (d) dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 

"Anggota Polri dilarang untuk melakukan tindakan politik praktis," kata dia.

Dia meminta Kementerian Dalam Negeri  dan Polri mengawasi pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dilarang membuat keputusan dan / atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon yang diatur dalam pasal 71 ayat (1) undang-undang tentang Pilkada.

"Setiap pejabat daerah dan anggota TNI / POLRI yang tidak netral dalam Pilkada 2024 nantinya dapat dipidana berdasarkan pasal 188 undang-undang PILKADA dan adanya keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) nomor 136 / PUU-XXII / 2024," ujarnya.

Dia menambahkan adanya putusan MK akan memberikan kepastian hukum terhadap Pilkada yang demokratis dan lebih bagus terjamin.

Baca juga: Bawaslu Lebak Terima Tiga Laporan Netralitas Kepala Desa Selama Kampanye Pilkada 2024 

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi memutuskan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral sudah bisa ditindak lewat jalur pidana.

Yakni membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.

Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (14/11). 

Pasal 188 UU 1/2015 berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”

Menurut MK, Pasal 188 UU 1/2015 merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. 

Dalam perkembangannya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1).

Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat “Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.”

Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri".

Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya, perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.

Terlebih, UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.

Kondisi ini, menurut MK, menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.

Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar.

Karena norma pada kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang berpasangan, norma Pasal 188 UU 1/2015 harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan perinci agar tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya.

Baca juga: Jaga Netralitas ASN, Pemkot Serang Bentuk Satgas Selama Pilkada 2024

"Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK.

MK menyatakan bahwa ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder di antara kedua pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi.

Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi:

"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved