Kemenkumham Banten

Penjelasan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas soal Presiden Mau Ampuni Koruptor

Menurut mantan ketua Badan Legislasi DPR ini, pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal

dokumentasi Kemenkum
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat menjelaskan soal Presiden mau mengampuni koruptor. 

TRIBUNBANTEN.COM - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta-merta mendapatkan amnesti atau grasi.

Meskipun Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, tetapi tetap melalui proses pengawasan Mahkamah Agung (MA) terkait grasi.

Selai itu, juga proses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.

Baca juga: Kemenkum Raih Terbaik Ke-3 Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2024 Kategori Kementerian

“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” katanya di kantor Kementerian Hukum (Kemenkum) Jakarta, Senin (23/12/2024).

Menurut mantan ketua Badan Legislasi DPR ini, pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor.

Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas.

"Sama sekali tidak karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan," ujarnya.

Kemudian jika asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal.

"Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ucapnya.

Supratman mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif.

Namun, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada Presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.

Baca juga: Kemenkumham Banten Upacara Peringatan Hari Ibu ke-96: Perempuan Menyapa dan Berdaya

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada Presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut.

Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden tidak absolut.

Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved