Banten Darurat Kekerasan Seksual Anak

Psikolog UI Dampak Kekerasan Seksual Anak di Banten: Bisa Alami Gangguan Jiwa dan Mengancam Nyawa

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Banten meningkat tajam pada 2025. Psikolog Universitas Indonesia menyebut dampaknya sangat serius.

Penulis: Ade Feri | Editor: Abdul Rosid
TribunBanten.com
Ilustrasi kekerasan seksual - Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Banten meningkat tajam pada 2025. Psikolog Universitas Indonesia menyebut dampaknya sangat serius terhadap kesehatan mental korban, bahkan bisa memicu gangguan jiwa dan dorongan bunuh diri. 

Laporan Wartawan TribunBanten.com, Ade Feri Anggriawan

TRIBUNBANTEN.COM, BANTEN - Provinsi Banten saat ini tengah menghadapi peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Komnas Anak mencatat, lebih dari 200 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di Banten sepanjang tahun 2025.

Pelaku kekerasan seksual tersebut mayoritas berasal dari orang terdekat korban, seperti guru, ayah, hingga teman.

Lantas, bagaimana dampak psikologis terhadap korban kekerasan seksual pada anak?

Baca juga: Fakta Baru Dugaan Pelecehan Seksual di SMAN 4 Kota Serang, Bukti Diminta Dihapus di Hadapan Guru

Dosen Psikologi Klinis Universitas Indonesia, Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, menyebut kekerasan seksual dapat memberikan dampak serius terhadap kesehatan mental dan psikologis anak.

Menurutnya, seorang anak pada dasarnya membutuhkan rasa aman dari orang dewasa di sekitarnya.

"Di Indonesia, sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap aspek psikologis dan kesehatan mental anak itu sangat besar," ujar Kristi kepada TribunBanten.com melalui sambungan telepon, Selasa (22/7/2025).

“Anak sangat membutuhkan rasa aman. Ketika hal itu tidak diperoleh, atau bahkan mereka merasa terancam oleh kehadiran orang dewasa di sekitarnya, dampaknya akan sangat besar,” sambungnya.

Kristi menjelaskan, pada anak-anak yang belum mampu mengungkapkan apa yang mereka alami, gangguan psikologis biasanya muncul dalam bentuk perilaku.

“Misalnya sulit tidur, tiba-tiba kembali mengompol, menjadi murung, menarik diri, dan sering menangis,” jelasnya.

Bahkan, lanjut Kristi, dalam beberapa kasus, kekerasan seksual menyebabkan gangguan jiwa hingga mendorong korban untuk mengakhiri hidup.

"Dalam psikologi ada orang yang rentan masalah kejiwaan, ada yang tidak. Nah pada orang yang memiliki kerentanan bisa membuat dia masuk ke dalam gangguan jiwa yang parah," ujarnya.

"Selain itu bisa juga berdampak pada anak yang nekat mengakhiri hidup, karena kan memang terjadi dan sudah ada kasus-kasus nya," imbuhnya.

"Karena dia tidak kuat menahan malu, disalahkan orang, dan tertekan karena dianggap membuat nama keluarga buruk. Hak itu bisa aja terjadi," jelasnya.

Dirinya juga menjelaskan, dampak psikologis terhadap korban laki-laki dan perempuan juga berbeda.

Menurutnya, pada korban laki-laki yang mengalami kekerasan seksual memiliki kecondongan meniru atau melakukan hal yang sama kepada anak lain yang lebih kecil darinya.

Sedangkan untuk anak perempuan, dampaknya akan lebih kompleks dan berpotensi membuat korban menjadi korban yang berulang.

"Penelitian menunjukkan, laki-laki yang jadi korban kekerasan seksual dari orang dewasa itu akan lebih mudah meniru dan melakukannya kepada anak lain," kata Kristi.

"Kalau perempuan, mereka mungkin menjadi lebih rentan menjadi korban kekerasan-kekerasan selanjutnya atau menjadi korban berulang," jelasnya.

Hal itu kata dia, dipengaruhi juga oleh perbedaan aspek psikologi dan aspek sosial yang dialami antara korban kekerasan seksual laki-laki dan perempuan.

"Kalau laki-laki kan mungkin merasa tidak berdaya ketika jadi korban kekerasan seksual oleh orang dewasa, sehingga ia akan berpikir akan melakukan tindakan serupa kepada anak yang lebih kecil dari dia," ucapnya.

"Kalau pada perempuan, persoalannya memang agak kompleks, karena pada perempuan itu ada stigma kalau dia dianggap sudah kotor, tidak suci, ketika orang dewasa di sekitarnya tahu bahwa dan dinilai anak itu sudah tidak perawan, konotasinya membuat korban mungkin minder, malu, dan sebagainya," tutur Kristi.

"Sehingga ketika dia memperoleh perhatian dari orang lain yang terlihat kayanya baik, dia akan cenderung gampang percaya. Atau mudah ditipu atau gampang dieksploitasi oleh orang lain. Kadi orang lain itu pura-pura baik, nanti melakukan Kekerasan seksual lanjutan," jelasnya.

Oleh karena itu kata dia, peran pemerintah sangat diperlukan dalam mencegah terjadinya praktik kekerasan seksual terhadap anak.

Sebab, pencegahan kekerasan seksual pada anak itu tidak bisa dilakukan orang per orang.

Apalagi, pada banyak kasus pelaku kekerasan seksual tersebut bukan lah orang lain, melainkan keluarga atau kerabat dekat korban.

"Pencegahan tidak bisa orang per orang yang melakukan, tapi lebih kepada pemerintah," kata Kristi.

"Karena kan sebenarnya ada keluarga-keluarga yang justru orang-orang dewasanya yang melakukan ke anaknya. Kalau gitu kan si orang dewasa itu yang harusnya bisa lebih mengontrol diri," tambahnya.

"Intinya kurang tepat menurut ku kalau anak tidak diperbolehkan bermain, atau apapun agak susah. Karena pelakunya sering kali guru, kakek, paman, ayah. Kan gitu," tutur Kristi.

"Jadi sosialisasi di masyarakat tentang apa yang dimaksud kekerasan seksual, mengapa itu tidak boleh, bagaimana hukum melihat itu kalau ada yang melakukan, itu yang paling penting harus dilakukan pemerintah," tandasnya.

Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved