Festival Seni Multatuli Digelar Secara Virtual September 2021
Pemerintah Kabupaten Lebak merencanakan menggelar Festival Seni Multatuli (FSM) secara virtual di Museum Multatuli Lebak, Banten, pada 2021.
Penulis: Rizki Asdiarman | Editor: Glery Lazuardi
"Karena bagaimanapun kita ingin mempunyai dokumentasi yang masif, dan ke depannya akan membikin pusat poskolonial dengan jangkauannya harus internasional," katanya.
Baca juga: PHRI: Banyak Hotel dan Restoran di Tangerang Selatan Belum Terima Dana Hibah Pariwisata
Menurutnya, untuk konsep yang ditonjolkan dalam FSM ada empat fase yakni pameran, pertunjukan, kompetisi, sahabat festival.
"Semua itu akan dilakukan secara daring, mengingat pandemi covid-19 yang belum berakhir," jelasnya.
Sedangkan kata dia, dalam konsep virtual FSM kemungkinan akan memakan waktu yang lebih panjang dibandingkan konsep yang dilakukan secara langsung
"Masa waktu pergelangannya akan diperpanjang hingga dua mingguan dari biasa yang digelar hanya satu minggu," tegasnya.
Baca juga: Kawasan Wisata Negeri di Atas Awan yang Sempat Viral, Begini Kondisinya Sekarang saat Pandemi
Kegiatan FSM merupakan kegiatan kedua yang digelar pada 2019 dan ditahun 2021 merupakan kegiatan yang empat.
"Meski ditahun 2020 FSM di Museum Multatuli Lebak, Banten tidak digelar meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Dimana pada awalnya direncanakan digelar secara daring karena pandemi covid-19 juga urung dilakukan," jelasnya.
Dan jika memang pergelaran ini dilakukan maka ini menjadi yang pertama dalam festival Mutatuli secara virtual.
Mengenal Museum Multatuli Sebagai Sejarah Kelam Masyarakat Kabupaten Lebak Pada Zaman Belanda.
Gedung Museum Multatuli memiliki luas 2.200 meter persegi di Kota Rangkasbitung dan didirkan pada Desember 2016.
Baca juga: Banten Targetkan 21 Juta Wisatawan Pada 2021
Pembangunan rumah "Max Havelaar" tersebut menghabiskan dana Rp 16 miliar dan dilengkapi dokumen tentang Multatuli juga benda peralatan tempo dulu.
Gedung museum Max Havelaar merupakan gambaran dari bagian sejarah kelam masyarakat Kabupaten Lebak pada zaman Belanda.
Max Havelaar seorang Asisten Residen Lebak 1850 yang melihat penindasan terjadi kaum bumi putra di daerah Kabupaten Lebak, mereka diperas oleh para mandor, para demang, dan para bupati.
Mereka keluarga para kuli tinggal di desa-desa sekitar perkebunan secara melarat dan ditindas dengan diperlakukan kurang adil oleh para petugas pemerintah setempat.
Karena itu, novel Max Havelaar karya pena Multatuli merupakan bagian sejarah dunia.
Baca juga: Taman Wisata Mahoni Alami Lonjakan Wisatawan Hingga 15 Persen Saat Liburan
Sejarah Multatuli itu sendiri, diyakini sudah menembus dunia dan cukup terkenal di Benua Eropa, seperti Belanda, Inggris, Swis dan Italia.
Pembangunan museum Multatuli merupakan pelestarian sejarah kehidupan tempo dahulu saat Indonesia dijajah oleh Belanda.
Di samping itu, dapat meningkatkan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, akademis tentang karya novel Max Havelaar itu.