Ramai-ramai Uji Materi Presidential Threshold, Kini Giliran Partainya Amien Rais, Ini Alasannya

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Editor: Glery Lazuardi
Tribunnews/Jeprima
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) 

TRIBUNBANTEN.COM - Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kali ini, uji materi itu diajukan oleh Partai Ummat.

Partai Ummat yang digawangi mantan Ketua MPR RI, Amien Rais itu mendorong agar syarat ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi nol persen.

Baca juga: Meski Ditolak, Tokoh Tionghoa Ini Ngotot Ajukan Uji Materi PT 0 Persen, Bakal Maju Capres 2024?

Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahamdi, mengatakan, Partai Ummat memandang aturan ini tidak masuk akal dan tidak sehat.

Menurut dia, aturan itu merupakan cara tidak fair untuk menjegal calon yang potensial dan cara untuk melanggengkan kekuasaan oligarki yang dikuasai oleh para taipan

"Kami perlu darah baru dan generasi baru untuk memimpin bangsa besar ini," ujarnya.

Dia mengungkapkan, tak logis apabila hasil Pemilu 2019 dijadikan dasar capres-cawapres di Pemilu 2024.

Untuk itu, dia meminta, kepada majelis hakim konstitusi agar persyaratan ambang batas 20 persen itu digugurkan.

Selama jangka waktu lima tahun, kata dia, segala sesuatu bisa berubah.

"Hasil Pemilu 2019 sangat bisa dipertanyakan keabsahannya bila mau dipakai sebagai dasar pencapresan pada Pemilu 2024. Kedua, akal sehat tidak bisa membenarkan aturan 20 persen ini karena bertentangan dengan pemilu serentak," ujarnya.

Baca juga: Gugatan Presidential Threshold 0%, Setiap Parpol Berhak Mengajukan Capres & Cawapres di Pilpres 2024

Selain itu, kata dia, penghapusan syarat presidential threshold akan menghilangkan lingkaran oligarki kekuasaan.

Partai Ummat mengajak semua anak bangsa ikut meruntuhkan kuasa oligarki yang menggunakan tameng 20 persen untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara tidak fair.

"Ini jelas antidemokrasi yang harus kita ubah," kata dia.

Partai Ummat telah membentuk tim judicial review yang dikoordinasi oleh Waketum Buni Yani dan menunjuk Kantor Hukum Tata Negara Refly Harun sebagai penasihat hukum sekaligus pengacara.

Baca juga: Demokrat Kini Minta Presidential Threshold 0 Persen, untuk AHY?

Berikut ini daftar tim hukum judicial review Partai Ummat:

1. Refly Harun

2. Denny Indrayana

3. Muh. Salman Darwis

4. Wigati Ningsih

5. Zamrony

6. Harimudin

7. Muhamad Raziv Barokah

8. Muhtadin

9. Wafdah Zikra Yuniarsyah

10. Abudlatief Zainal

11. Muhammad Rizki Ramadhan

12. Musthakim Alghosyaly

13. Tareq Muhammad Aziz Elven

14. Caisa Aamuliadiga

15. Anjas Rinaldi Siregar

16. Nazarudin

17. Buni Yani

18. Ahmad Rizki Robbani Kaban

19. Adhi Bangkit Saputra

20. Azmi Mahatir Baswedan

Baca juga: Survey Elektabilitas Anies untuk Pilpres 2024 Masih Rendah, Pengamat: Paling Mungkin Jadi Wapres

Jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024, muncul perdebatan soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur ihwal presidential threshold sebesar 20 persen.

Namun, presidential threshold dinilai tak lagi relevan digunakan untuk pesta demokrasi lima tahunan mendatang.

Uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 12 kali.

Namun, hasilnya hingga kini belum ada uji materi itu yang diterima oleh majelis hakim konstitusi.

Baca juga: Pengamat Sebut Kans Anies Baswedan di Pilpres 2024, Gerindra Malah Sarankan Lanjut 2 Periode di DKI

Pada awal Desember lalu, Ferry Yuliantono menggugat UU Pemilu ke MK agar presidential threshold atau ambang batas presiden dari 20 persen menjadi 0 persen. Sebab, aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.

Selain itu, Partai Demokrat menilai aturan ambang batas pencalonan presiden sebaiknya tak lagi dipakai saat Pilpres 2024 mendatang.

"Harusnya secara konstitusional ambang batas pencalonan tidak relevan lagi dijadikan sebagai syarat pencalonan mengingat hasil Pileg dan Pilpres 2024 belum diketahui hasilnya," kata Wasekjen Partai Demokrat Irwan Fecho dalam keterangan tertulis, Rabu (22/12/2021).

Menurut dia, jika menggunakan hasil pemilu 2019, justru alasan presidential threshold untuk penguatan sistem presidential tidak cocok karena hasil pemilu atau resultan politik akan berbeda.

"Selanjutnya, fakta politik juga menunjukkan dalam beberapa pemilu terakhir, justru pembentukan koalisi pemerintahan dapat terjadi setelah pileg dan pilpres selesai. Presiden terpilih mendapatkan tambahan dukungan dari parlemen setelah pemilu usai," ujarnya.

Ia menjelaskan, paling mutakhir, justru yang berlawanan dalam Pilpres 2019 menjadi sekutu pasca pemilu dan menjalankan pemerintahan bersama-sama.

"Disitulah inti penguatan kabinet presidensial, bukan pada saat proses kandidasi atau pencalonan," ujarnya.

Baca juga: Hanya Jabat Komut Pertamina, Ahok Masuk Deretan Survei Capres 2024, Bagaimana Peluangnya?

Ia menyebut, dari pengalaman politik dan konstitusi yang termutakhir harusnya tidak ada lagi presidential threshold.

"Dengan pemilu yang serentak, setiap partai politik peserta pemilu harusnya memiliki hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden."

"Disitulah ada jaminan dan perlindungan terhadap hak untuk memilih dan dipilih setiap partai politik dan warga negara," katanya.

Baca juga: Pengurus KPID Banten Periode 2021-2024 Resmi Dilantik, Dapet PR dari Pengurus Lama

Sebelumnya, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menilai adanya desakan dari sejumlah partai politik (parpol) untuk menurunkan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dari 20 persen menjadi nol persen, menandakan parpol tersebut tak konsisten.

Ia menjelaskan, presidential threshold 20 persen itu sudah digunakan sejak tahun 2017, sehingga bila ada yang minta diturunkan maka mereka tak konsisten dengan sikapnya beberapa waktu lalu.

"Kita sudah beberapa pemilu kok. Kalau bilang enggak ideal sekarang, enggak konsisten. Gerindra sesuai perundang-undangan yang ada, kita akan ikut," kata Dasco di Jakarta, Senin (20/12/2021).

Menurut dia, bila harus merevisi Undang-Undang Pemilu tahun 2017, akan menyita waktu dan akan menghambat proses tahapan Pemilu 2024 mendatang.

"Jadi bukan kita tidak mau mengambil aspirasi dari masyarakat. Tetapi undang-undang dibuat itu revisi tahun 2017 itu sudah berasalkan aspirasi dari masyarakat. Bahwa kemudian berkembang dari masyarakat kita tampung untuk perbaikan-perbaikan ke depan."

"Karena sekarang sudah masuk proses tahapan pemilu, kemudian proses tahapan pemiku yang sudah jalan ini, kemudian akan terganggu kalau kemudian kita membuat lagi revisi-revisi yang waktunya juga enggak akan cukup," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved