Ia juga meminta agar tiga warga yang ditangkap segera dibebaskan, karena mereka hanya mengambil kayu untuk kebutuhan pribadi, bukan untuk dijual.
"Mereka bukan maling, mereka hanya memanfaatkan kayu yang lahannya sudah sejak dulu ditempati para warga," ujarnya.
Masyarakat mengklaim telah mengelola lahan tersebut sejak lama, bahkan sebagian memiliki bukti girik dan pembayaran pajak yang sah.
Namun, sejak Perhutani menanam pohon mahoni pada tahun 1980 dan pohon jati pada tahun 1992, mereka mengklaim lahan tersebut sebagai kawasan hutan di bawah penguasaan mereka.
"Nah proses penanaman ini dilakukan oleh warga, cuma bibit disediakan oleh Perhutani dengan cara mereka memaksa warga untuk menanam pohon itu," jelasnya.
"Sejak saat itu, mereka mengklaim secara sepihak bahwa lahan tersebut adalah kawasan hutan di bawah penguasaan mereka," katanya.
Pada tahun 1999, masyarakat mulai mengalami intimidasi dari sekelompok orang bersenjata yang diduga Brimob dan preman bayaran utusan Perhutani.
Mereka yang vokal menentang penguasaan lahan oleh Perhutani ditangkap.
Insiden besar terjadi pada tahun 2001, ketika 49 petani ditangkap oleh aparat.
"Mereka yang vokal menentang penguasaan lahan oleh Perhutani ditangkap, insiden besar terjadi kembali pada tahun 2001, ketika 49 petani ditangkap oleh aparat," katanya.
"Mereka juga diborgol, dilempar ke mobil, dan dibawa ke Polres Pandeglang."
"Dari jumlah 40 orang dipulangkan, setelah pemeriksaan sedangkan 9 orang ditahan," sambungnya.
"Selanjutnya, tahun 2004 masyarakat masih terus membayar pajak tanah."
Baca juga: Warga Cibaliung Desak Penyelesaian Konflik Agraria dengan Perhutani, Wabup Iing Janji Tindak Lanjuti
"Namun sejak tahun 2005, pemerintah desa menolak menerima pembayaran pajak tanpa alasan yang jelas.
"Maka dari itu kami meminta kepada pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat untuk hadir memberikan solusi kepada kami," tegasnya.
"Jangan sampai masyarakat melawan di luar dari pada aksi yang kita lakukan sekarang ini dan lebih keras lagi," sambungnya.