Kasus Perundungan
Siswa Korban Bullying di Tangsel Meninggal, Komnas PA Banten Sentil Lemahnya Peran TPPK di Sekolah
Kasus dugaan bullying yang menyebabkan MH (13), siswa kelas 1 SMPN 19 Tangerang Selatan meninggal dunia di ruang ICU Rumah Sakit Fatmawati,
Penulis: Muhamad Rifky Juliana | Editor: Ahmad Tajudin
Laporan Wartawan TribunBanten.com, Muhamad Rifky Juliana
TRIBUNBANTEN.COM, SERANG - Komnas Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten menyoroti kasus dugaan bullying yang menyebabkan MH (13), siswa kelas 1 SMPN 19 Tangerang Selatan meninggal dunia di ruang ICU Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Minggu (16/11/2025).
Kasus yang sempat menyita perhatian publik ini mendapat perhatian serius dari beberapa pihak termasuk PA Banten.
Ketua Komnas PA Banten, Hendry Gunawan, menegaskan pentingnya peran sekolah melalui Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dalam mencegah kejadian serupa.
Ia menjelaskan bahwa indikasi kekerasan dalam kasus ini cukup jelas. Terlebih kekerasan ini diduga dilakukan oleh teman sebaya korban, hingga membuat korban harus dirawat sebelum akhirnya meninggal dunia.
"Kekerasannya dalam bentuk memukul rekannya menggunakan kursi. Ini kan berarti ada indikasi, kalau ini ada perilaku bullying yang terjadi di lingkungan sekolah," ujar Hendry, Senin (17/11/2025).
Baca juga: Kabar Duka! Korban Perundungan di SMPN 19 Tangsel Meninggal Dunia
Hendry menyampaikan, jika merujuk Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan UU Perlindungan Anak, kekerasan yang menyebabkan luka berat atau kematian memiliki konsekuensi hukum, meski pelaku masih di bawah umur.
Mengingat terduga pelaku masih berusia 13 tahun, ia menegaskan bahwa anak di bawah usia 14 tahun tidak dapat dijatuhi pidana.
Namun tetap ada tindakan hukum berupa pembinaan yang dapat diberikan sesuai UU SPPA.
"Ini yang kemudian kita juga perlu melihat lebih jernih, walaupun kemudian tidak dilakukan bentuk pidana. Tapi dalam bentuk tindakan minimal ini memberikan pembinaan kepada anak yang melakukan kekerasan ini," ujarnya.
"Yang kita khawatirkan, kalau ini kemudian tidak dilakukan pembinaan apakah nanti akan ada korban-korban lainnya yang kemudian nanti bisa terdampak terhadap anak ini. Anak ini sebagai terduga (pelaku) ketika memang sudah masuk ke dalam ranah hukum, maka disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum," sambung Hendry.
Baca juga: Kilas Balik Kasus Perundungan di SMPN 19 Tangsel, Korban MH Meninggal Dunia Setelah Sepekan Dirawat
Sekolah Diminta Maksimalkan Fungsi TPPK
Hendry menyoroti lemahnya deteksi dini kasus kekerasan di lingkungan sekolah.
Ia menegaskan bahwa TPPK yang sudah diwajibkan di setiap sekolah harus benar-benar difungsikan secara maksimal.
"Ketika ada hal-hal yang itu sifatnya sudah mengarah kepada kekerasan, maka pihak sekolah harus bisa mendeteksi itu memastikan bahwa kejadian tidak berulang," tegas Hendry.
Ia mengatakan banyak anak menjadi korban bullying tetapi tidak berani melapor karena takut kepada pelaku atau khawatir kasus terulang.
Menurut Hendry, sekolah dan orang tua harus mampu mengenali tanda-tanda awal, seperti perubahan perilaku anak.
"Ini kan sebenarnya bisa dideteksi oleh pihak sekolah dan juga oleh keluarga. Kalau kemudian ini tidak terdeteksi, yang kita khawatirkan dampaknya kepada kesehatan yang itu berdampak pada medisnya. Ini yang kita khawatirkan," jelasnya.
Hendry menekankan pentingnya lingkungan yang aman bagi anak untuk bercerita dan meminta perlindungan.
"Jangan anggap bullying sebagai hal biasa, yang perlu kita dorong adalah memastikan bahwa anak-anak ini bisa dilindungi oleh setiap orang dewasa di sekitarnya. Jadi orang-orang dewasa sekitarnya juga harus aware," pungkasnya.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.