Dua Jenazah, Dua Cermin Bangsa: Refleksi atas Wafatnya Affan Kurniawan dan Prof. Dr. H.M.A. Tihami

Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas.

Editor: Abdul Rosid
Dok/Pribadi
Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama. 

TRIBUNBANTEN.COM - Kadang sejarah tidak datang lewat seminar megah, tapi lewat suara azan yang mengiringi jenazah. Dalam sepekan, bangsa ini berduka atas dua kepergian yang kontras tapi saling melengkapi. Pertama, Affan Kurniawan, pemuda introvert, tulang punggung keluarga kecilnya, yang meregang nyawa di tengah jalan raya, terlindas mobil aparat saat gelombang aksi protes. Kedua, Prof. Dr. H.M.A. Tihami, MA, guru besar dan ulama yang wafat di hari Jumat penuh berkah, bertepatan dengan 12 Rabi‘ul Awwal 1447 H, hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Dua nama ini mungkin seperti langit dan bumi dalam hal panggung hidup. Affan adalah anak kedua dari tiga bersaudara: kakaknya, Adam, bekerja sebagai office boy di Bendungan Hilir; adiknya, Wulan, masih duduk di bangku SMP. Affan tidak sempat jadi ayah, tapi sudah jadi tulang punggung keluarga. Hidupnya sederhana, pekerja keras, dan peduli keluarga. Ironisnya, ia justru “dikenal” karena kematiannya.

Sementara Prof. Tihami, maha guru UIN SMH Banten, ulama sekaligus akademisi multidisipliner, wafat nyaris tanpa gaung nasional. Padahal beliau sosok langka: lembut, sederhana, istiqamah mengajar meski tubuh renta. Saya pribadi adalah murid beliau di S2 dan S3. Saya pernah menyaksikan beliau datang ke kelas dengan langkah perlahan, tapi semangat yang menyala. Namun, begitulah dunia: kadang yang paling berjasa justru sepi pemberitaan, sedangkan yang menderita tragis menjadi pusat perhatian.

Baca juga: Bulan Mulud di Tengah Duka Dunia: Gerhana, Tragedi, dan Cahaya Rasulullah

Tapi dua kematian ini menyimpan pesan besar bagi bangsa ini yang sedang rapuh.

Luka Sosial dan Demokrasi yang Terengah

Kematian Affan bukan hanya duka keluarga; ia simbol retaknya kepercayaan rakyat kepada aparat dan negara. Aksi mahasiswa dan massa 17+8 yang berujung ricuh adalah tanda alarm: ada aspirasi yang tak tersampaikan. Mahasiswa, sejak dulu, adalah suara nurani bangsa. Jika mereka turun ke jalan, itu pertanda negara harus mendengar, bukan mengerahkan gas air mata.

Namun tentu kita juga tak naif: di tengah demonstrasi, selalu ada kemungkinan “tangan tak terlihat” yang mencoba menunggangi. Bisa saja ada unsur makar, bahkan aktor-aktor internasional yang senang melihat negeri ini kacau. Tapi itu bukan alasan untuk menutup telinga dari suara rakyat. Justru pemerintah harus lebih jernih memilah mana aspirasi murni, mana provokasi terselubung.

Jangan sampai demokrasi kita ikut wafat bersama Affan. Negara ini dibangun dengan darah dan doa. Kalau aparat jadi alat represi, kalau wakil rakyat sibuk menjaga kursi ketimbang suara rakyat, maka integritas bangsa yang kita banggakan bisa runtuh pelan-pelan.

Prof. Tihami: Guru yang Pergi Diam-Diam

Prof. Tihami wafat di hari kelahiran Nabi. Banyak ulama mengatakan itu pertanda husnul khatimah. Namun kepergiannya sepi sorotan. Padahal, beliau adalah ulama yang bukan hanya menguasai kitab kuning, tapi juga mengerti dunia akademik modern. Saya masih ingat guyonannya di kelas: “Ilmu itu bukan buat pamer, tapi buat bekal sabar.”

Beliau adalah teladan yang kita butuhkan hari ini. Ketika elite sibuk berebut panggung, beliau sibuk membangun generasi. Ketika orang berteriak soal toleransi, beliau sudah mempraktikkannya puluhan tahun. Kepergiannya mengingatkan kita, bahwa bangsa ini kekurangan figur moral yang mempersatukan. Kita kehilangan kompas yang mengarahkan politik agar tetap beradab.

Dua Wajah Bangsa: Tragis dan Syahdu

Dua kematian ini seperti dua wajah bangsa. Affan wafat tragis, jadi korban benturan sosial. Prof. Tihami wafat syahdu, meninggalkan dunia dengan ketenangan seorang ulama sejati. Namun keduanya sama-sama mengajarkan pelajaran: nyawa manusia itu suci, dan negara harus bercermin.

Sayangnya, bercermin bukan budaya kita. Kita lebih suka berdebat siapa salah, siapa benar, sambil lupa bahwa rakyat kecil seperti Affan bisa saja besok berganti nama. Kita bisa sibuk menyalahkan mahasiswa, sementara tuntutan mereka soal keadilan dan transparansi justru pantas didengar. Kita bisa menuduh ada “dalang asing”, tapi itu tidak menghapus kewajiban pemerintah untuk menata diri.

Gus Dur dan Kemanusiaan yang Membumi

Halaman
12
Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved