Dua Jenazah, Dua Cermin Bangsa: Refleksi atas Wafatnya Affan Kurniawan dan Prof. Dr. H.M.A. Tihami

Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas.

Editor: Abdul Rosid
Dok/Pribadi
Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama. 

Kalau Gus Dur masih ada, mungkin beliau akan bilang sambil terkekeh, “Negara kok tega sama rakyatnya sendiri?” Gus Dur selalu menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Baginya, negara boleh pintar bikin kebijakan, tapi percuma kalau tidak bisa bikin rakyat merasa aman.

Humor beliau tentang “polisi jujur” pun jadi relevan: “Di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.” Satir itu bukan untuk merendahkan polisi, tapi untuk mengingatkan, bahwa kejujuran dan keberanian itu mahal. Kalau aparat ingin dihormati, ya harus berani jadi “Hoegeng” berikutnya bukan sekadar patung di tengah kota.

Saatnya Bercermin, Bukan Cermin Pecah

Pemerintah harus berani bercermin pada wafatnya dua tokoh mulia ini. Affan adalah peringatan bahwa negara bisa gagal melindungi anak mudanya. Prof. Tihami adalah simbol bahwa bangsa ini kehilangan sumber moral yang seharusnya jadi cahaya di tengah gelap. 

Kalau bercermin itu membuat kita malu, berarti cermin itu bekerja. Yang bahaya kalau kita pecahkan cerminnya, lalu pura-pura semua baik-baik saja.

Aspirasi massa 17+8 harus diaktualkan, bukan dimanipulasi. Mahasiswa tidak boleh dipandang sebagai ancaman, tapi sebagai pengingat bahwa demokrasi kita masih hidup. Dan ya, harus dipastikan tidak ada pihak-pihak yang menunggangi situasi untuk makar. Tapi tanggung jawab utama pemerintah adalah mendengar suara rakyat, menjaga integritas bangsa, dan memastikan negara tetap utuh.

Penutup: Optimisme dengan Senyum Satir

Dua jenazah ini berbicara lewat kepergiannya. Affan adalah suara rakyat kecil yang butuh perlindungan, Prof. Tihami adalah suara moral bangsa yang menuntun. Pesannya jelas: bangsa ini bisa bangkit jika mau merawat nurani dan menegakkan keadilan.

Demokrasi yang dicita-citakan Gus Dur dan para pendiri bangsa bukan barang rongsokan; ia ibarat pohon tua yang akarnya kuat. Meski daunnya kadang rontok dan batangnya berlumut, pohon itu bisa tumbuh lagi jika dirawat dengan kasih sayang. 

Kalau kata Gus Dur, “Polisi yang jujur memang langka, tapi kalau kita semua mulai jujur, negara ini bisa punya lebih dari tiga.” Kalimat itu mungkin satir, tapi penuh harapan: bahwa bangsa ini bisa berbenah, asal mau jujur, mau mendengar, dan mau merangkul rakyatnya sendiri.

Semoga Allah Swt. melapangkan kubur Affan Kurniawan, menerima pengorbanannya sebagai amal kebaikan, serta menguatkan keluarganya yang ditinggalkan. Semoga pula Prof. Dr. H.M.A. Tihami, guru bangsa yang rendah hati, diterima seluruh amalnya, ditempatkan di sisi Allah bersama para ulama yang dicintai-Nya, dan ilmunya terus menjadi cahaya bagi kita semua. 

Kita berdoa agar bangsa ini mengambil pelajaran dari keduanya: bahwa kemanusiaan lebih mahal dari politik, dan ilmu lebih berharga dari pangkat. Al-Fatihah.

Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.

 

Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved