Bagian IX: Tinta yang Menjadi Peradaban

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.

Editor: Abdul Rosid
TribunBanten.com/Ade
Bait Nawawi di Desa Pedalaman Kecamatan Tanara Kabupaten Serang. 

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.

TRIBUNBANTEN.COM - Namaku Muhamad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani.
Aku menulis nama itu di setiap kitab bukan untuk dikenang tapi agar dunia tahu: ilmu yang kubawa berasal dari tanah yang kecil tapi agung. Tanara, di muara Sungai Cidurian, tanah doa dan perjuangan.

Aku ingin setiap anak negeri tahu bahwa kita bisa, dan tidak lupa asal diri.
Bahwa santri Tanara dapat menulis kitab dengan bahasa langit, namun tetap berpijak di bumi yang berdebu karena perjuangan.

Baca juga: Bagian VIII: Mata yang Melihat, Tapi Tak Beriman

1. Menulis Nama Tanara, Menulis Jiwa Bangsa

Di masa ketika banyak orang menutupi asalnya dengan nama besar, aku memilih menulis: “al-Tanari al-Bantani.”
Sebab aku tak ingin terhapus dari peta bangsa sendiri.
Aku ingin tinta ini jadi saksi bahwa seorang anak sungai dari ujung Jawa pernah menulis cahaya untuk dunia.

Ketika Belanda mengikat umatku dengan pasal dan pajak, aku mengikatnya kembali dengan ilmu dan iman.
Ketika mereka menaklukkan bumi dengan meriam, aku menaklukkan hati dengan ayat.
Aku tahu, penjajahan yang paling berbahaya bukanlah penjara tubuh, melainkan penjara pikiran.

 “Bahwa kita bisa, dan tidak lupa asal diri.” Itulah sebab aku menulis.

2. Sanad dan Manhaj: Tali yang Menjaga Agama

Ilmu tanpa sanad adalah pedang tanpa gagang.
Ia bisa membunuh, bukan melindungi.
Karena itu aku berdiri di tiga pilar Ahlussunnah:

Asy‘ariyyah dalam aqidah – mengajarkan keseimbangan antara akal dan wahyu.

Syafi‘iyyah dalam fiqh – mengajarkan disiplin, logika hukum, dan kasih.

Qadiriyyah dalam tasawuf – mengajarkan dzikir, adab, dan kerendahan hati.

Siapa yang menolak sanad, pada hakikatnya menolak rahmat.
Sebab agama ini hidup karena sanad: dari Nabi ﷺ ke sahabat, dari sahabat ke tabi‘in, hingga sampai kepada kita.

Dan aku melihat datangnya arus baru yang menolak sanad, menyebut semua yang tidak mereka pahami sebagai bid‘ah.
Maka kutulis kitab agar umat tahu: anti-sanad adalah bid‘ah paling berbahaya, karena ia memutus mata rantai cahaya dari Rasulullah ﷺ.

3. Kenapa Aku Beraqidah Asy‘ariyyah

Asy‘ariyyah bukan sekadar mazhab, tapi jalan berpikir yang adil.
Ia menolak kekakuan yang membekukan hati, dan menolak kebebasan akal yang menenggelamkan iman.
Ia mengajarkan agar akal berjalan, tapi tetap menunduk kepada wahyu.

Dengan aqidah Asy‘ariyyah, aku ingin bangsaku terbebas dari dua penjajahan: penjajahan kolonial yang merampas tanah, dan penjajahan pemikiran yang merampas keyakinan.

Aqidah ini bukan hanya benteng teologis, tapi juga pernyataan kemerdekaan jiwa.
Sebab orang yang mengenal Tuhannya tak bisa dijajah oleh siapa pun.

4. Mengapa Aku Menulis dalam Bahasa Arab

Bahasa Arab adalah bahasa langit, bahasa wahyu.
Aku menulis dalam bahasa itu bukan karena lupa tanahku, tapi karena ingin suara Tanara terdengar sampai Kairo, Fez, Istanbul.

Ketika penjajah menulis undang-undang untuk menaklukkan tubuh, aku menulis risalah untuk memerdekakan ruh.
Setiap huruf Arab yang kutulis adalah doa agar bangsaku berdiri sejajar dengan ulama dari seluruh dunia Islam.

Bahasa Arab bukan sekat, tapi jembatan antara desa dan dunia, antara bumi dan langit.

5. Karya-Karya Tauhid: Cahaya dari Pena yang Tunduk

Aku menulis bukan dengan tinta, tapi dengan doa.
Berikut sebagian karya tauhidku  tiap satunya kubasuh dengan air mata harapan bagi umatku:

1. Fathul Majīd (1294 H / 1876 M) – syarah ad-Durril Farīd, karya guruku Ahmad an-Nahrawi. Tentang rahasia tauhid dan makrifat Allah.

2. Tijānud Darārī (1297 H / 1879 M) – syarah Risālah fi ‘Ilmit Tauhid karya Imam al-Bājūrī Syaikhul Azhar, tentang iman dan amal.

3. Qathrul Ghayts (1285 H / 1868 M) – syarah Masā’il Abī Laits as-Samarqandī, perisai akidah dari tasybīh dan tajsīm.

4. Qāmi‘ut Thughyan (1296 H / 1878 M) – menguraikan Nazham Syu‘abil Īmān, menegakkan iman di tengah badai kesombongan.

5. Dzari‘atul Yaqīn (1886 M) – syarah Ummul Barāhīn karya Imam as-Sanusi, memperkuat logika iman Asy‘ariyyah.

6. An-Nahjah al-Jayyidah (1303 H) – menjelaskan sifat dua puluh dan keindahan tauhid.

7. Nuruz Zhulām ‘ala ‘Aqidatil ‘Awām (1295 H / 1878 M) – syarah bagi nazham aqidah Imam Ahmad al-Marzūqī, ditulis agar santri Jawi tak buta tauhid.

6. Qathrul Ghayts dan Nuruz Zhulam: Dua Sayap Tauhid

Qathrul Ghayts adalah penjaga akal, sementara Nuruz Zhulam adalah penjaga hati.

Dalam Qathrul Ghayts, kutulis dengan tajam:

“Barang siapa mengenal Tuhannya dengan akalnya semata, maka ia telah menjadikan akalnya sebagai Tuhan.”

Sementara Nuruz Zhulam lahir dari kasih.
Nazham Aqidatul ‘Awām ditulis oleh Imam Ahmad al-Marzūqī setelah bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ yang memerintahkannya mengajarkan aqidah yang mudah bagi umat.

Aku menulis syarahnya agar anak-anak Jawi belajar mengenal Allah tanpa takut, tanpa fanatik, dan tanpa kering iman.
Agar mereka paham bahwa tauhid bukan sekadar ilmu, tapi cinta yang menumbuhkan adab.

7. Kesatuan Ilmu, Sanad, dan Jiwa Bangsa

Kini aku paham: setiap huruf yang kutulis adalah jihad, dan setiap kitab adalah perlawanan.
Sebab bangsa yang mengenal Tuhannya tak akan dijajah, karena mereka tahu kemerdekaan sejati adalah ketaatan kepada Allah.

Aku menulis bukan untuk cendekiawan semata, tapi untuk para petani, nelayan, dan santri di kampung agar tahu bahwa belajar adalah bentuk tertinggi dari jihad.

8. Tiga Tingkatan Iman

Iman itu pohon yang tumbuh dari akar ilmu dan disirami amal.
Para guru kami berkata: iman ada tiga tingkatan.

1. Iman al-‘Awām - iman orang kebanyakan, sederhana tapi jujur; percaya tanpa banyak dalil, tapi setiap subuh tetap memanggil nama Allah.

2. Iman al-‘Ulamā’ - iman para pencari ilmu, mengenal Tuhan lewat dalil, menimbang mumkin dan mustahil.
Iman mereka seperti bintang tinggi, tapi memberi arah.

3. Iman al-‘Ārifīn - iman para kekasih Allah, yang bukan hanya tahu, tapi menyaksikan.
Mereka melihat tanda-tanda Allah dalam segala sesuatu, hingga setiap embusan napas menjadi dzikir.

Aku menulis agar pembaca bisa berjalan dari iman tahu menuju iman merasa,
dan dari iman merasa menuju iman menyaksikan.

9. Jalan Menuju Iman Tertinggi

Ada tiga kunci agar iman naik tingkat dan tak layu:

1. Dzikir yang sadar – bukan sekadar lafazh, tapi hati yang hadir.
Lafazh tanpa hati seperti jasad tanpa ruh.
Barang siapa berdzikir dengan sadar, Allah mengajarinya tanpa suara.

2. Ilmu yang beradab – karena ilmu tanpa adab melahirkan kesombongan.
Aku selalu berpesan:

“Jika engkau ingin Allah membukakan makrifat, tunduklah di hadapan guru.”

3. Amal yang ikhlas – amal kecil dengan niat bersih lebih tinggi daripada amal besar dengan riya’.
Sebab Allah menimbang hati sebelum menimbang perbuatan.

Dan jika engkau bertanya padaku, apa tanda seseorang telah mencapai iman tertinggi?
Aku akan menjawab lembut:

“Ia tak lagi bangga dengan imannya, sebab ia sadar bahwa iman itu bukan miliknya, melainkan anugerah Allah.”

Ia bukan kehilangan iman, tapi merasa malu di hadapan Sang Pemberi Iman.
Ia takut hatinya sombong seolah bisa beriman tanpa pertolongan-Nya.
Maka ia terus berdoa sebagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan:

“Yā Muqallibal Qulūb, tsabbit Qalbī ‘alā Dīnik.”
“Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.”

Itulah derajat tertinggi iman, kesadaran penuh bahwa segala iman adalah rahmat, dan di sanalah lahir kefakiran sejati di hadapan Allah, kefakiran yang justru melahirkan kekayaan ruhani tiada batas.

10. Penutup: Tinta yang Menjadi Nur

Dari rumah kecilku di Syieb ‘Ali Makkah, aku menulis dengan tinta yang kularutkan dari doa-doa Tanara.
Tinta ini kini mengalir ke seluruh pesantren Nusantara: dibaca, disalin, dan disuarakan di langgar-langgar.

Aku tidak menulis untuk dikenang, aku menulis agar bangsaku merdeka dari kebodohan dan kejumudan.
Agar mereka tahu, menjadi hamba Allah adalah puncak kemerdekaan.

“Ilmu adalah darah, dan darahku mengandung jihad.”

Inilah tinta yang menjadi peradaban bukan karena aku menulisnya, tapi karena aku meneteskan seluruh cintaku di dalamnya.

Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved