Breaking News

Bagian VII: Pelita dari Syieb ‘Ali, Kesaksian Seorang Murid

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.

Editor: Abdul Rosid
Ade Feri/TribunBanten.com
Petilasan Syekh Nawawi Al-Bantani di Desa Tanara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. 

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.

TRIBUNBANTEN.COM - Cahaya di Tanah Haram

Meski berdarah India, aku terlahir di Makkah di lembah suci tempat langit seolah lebih dekat kepada bumi. Namaku ‘Abdus Sattar ad-Dahlawi  (1286 H/1869 M - 1355 H/1936 M). Aku seorang putra dari keluarga ulama Delhi yang sejak kecil mencintai ilmu sebagaimana orang lain mencintai udara. Ayahku, ‘Abdul Wahhab, sering berkata: “Ilmu adalah nyala lilin; dan jika kau ingin bercahaya, biarlah dirimu terbakar.”

Sejak kecil aku sudah menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan ayah, sebelum akhirnya belajar di Madrasah Shulṭāniyyah, lalu di Madrasah al-Ṣūlṭāniyyah (Al-Ṣaulatiyyah), tempat pertemuan para pelajar dari India, Nusantara, dan Afrika. Di sinilah pertama kali aku mendengar nama Syekh Nawawi al-Bantani, ulama dari Tanah Jawi yang menjadi lautan bagi semua sungai ilmu. Suatu hari, seorang teman dari Bawean berbisik:

Baca juga: Bagian VI: Lentera dari Rumah Sederhana

“Jika engkau ingin tahu makna ilmu dan kerendahan hati, datanglah ke majelisnya di Masjidil Haram.”

Aku datang dan hari itu, hidupku berubah selamanya.

Majelis Cahaya

Masjidil Haram saat Subuh adalah samudera putih. Ribuan manusia duduk bersila di antara tiang-tiang batu, wajah mereka berkilau disiram cahaya lampu minyak. Di sudut utara dekat maqam Ibrahim, aku melihat sosok yang kelak menjadi guruku.

Syekh Nawawi al-Bantani tubuhnya ramping, jubahnya sederhana, sorbannya dililit tanpa megah. Tapi dari matanya memancar sesuatu yang tak bisa dijelaskan: ketenangan yang menaklukkan badai.

Beliau memulai pelajaran tanpa banyak bicara. Suaranya lembut, tapi setiap kata menusuk dada.
Beliau membaca, menafsirkan, menjelaskan, dan menatap kami dengan mata penuh kasih. Sekali mengajar, lebih dari dua ratus santri duduk mengelilinginya — datang dari Hindustan, Afrika, Yaman, Mesir, hingga Nusantara. Dalam lingkaran ilmu itu, warna kulit, bahasa, dan bangsa lenyap. Yang tersisa hanyalah cahaya pengetahuan.

Kadang, jika beliau menutup kitab, suasana berubah seperti hening yang berdzikir.

“Ilmu,” katanya, “adalah zikir yang tak terputus. Barang siapa belajar, ia telah berzikir kepada Allah.”

Kami menulis cepat di atas kertas kurma, takut kehilangan sebutir pun mutiara dari lisannya.
Dan bila beliau berhenti sejenak, kami tahu — itu bukan jeda, melainkan doa yang sedang naik ke langit.

Rumah di Syieb ‘Ali

Selain di Masjidil Haram, Syekh Nawawi mengajar di rumahnya yang sederhana di Syieb ‘Ali, tak jauh dari Masjidil Haram. Rumah itu sempit, tapi terasa lapang oleh berkah. Setiap sore, halaman rumah dipenuhi para penuntut ilmu: sebagian duduk di serambi, sebagian di halaman, sebagian bahkan berdiri di tangga, menunggu giliran bertanya.

Sumber: Tribun Banten
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved