Bagian VIII: Mata yang Melihat, Tapi Tak Beriman
Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.
Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.
TRIBUNBANTEN.COM - Samar di Balik Nama
Namaku Abdul Ghaffar, begitu mereka memanggilku di Makkah.
Namun di negeri kelahiranku, Belanda, aku dikenal sebagai Christiaan Snouck Hurgronje — orientalis, ilmuwan, dan mata-mata kerajaan.
Aku datang ke Tanah Suci bukan untuk mencari Allah, tapi untuk mencari celah dalam Islam.
Pemerintah kolonial ingin tahu: apa rahasia kekuatan umat ini? Mengapa mereka tak tunduk pada peluru dan meriam?
Aku menulis dalam catatanku:
Baca juga: Bagian VII: Pelita dari Syieb ‘Ali, Kesaksian Seorang Murid
“Untuk mengalahkan umat Islam, kita harus mengerti mengapa mereka kuat.”
Di Leiden aku belajar bahasa Arab, tafsir, hadis, dan sejarah Nabi. Aku membaca Sahih Bukhari seperti membaca peta militer, dan menghafal doa dengan lidah yang belum beriman.
Namun semakin aku pelajari Islam, semakin aku dihantui oleh kebeningannya.
Aku tak lagi yakin siapa yang sebenarnya sedang kupelajari Islam, atau diriku sendiri.
Mekkah, 1884: Di Gerbang Cahaya
Tahun itu aku tiba di Jeddah dengan identitas palsu, menyamar sebagai seorang mualaf asal India bernama Abdul Ghaffar.
Malam pertama di Makkah, udara seperti bergetar oleh doa.
Suara azan menggema di antara rumah-rumah batu, dan aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan di gereja-gereja Belanda: kehadiran.
Aku menulis dalam buku catatan lapanganku:
“Mekkah adalah jantung dunia Islam. Siapa yang memahami denyutnya, akan memahami seluruh tubuh umat.”
Tapi aku tak tahu, jantung itu bukan sekadar berdetak karena ibadah — ia berdetak karena ulama-ulama seperti Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, yang menghidupkan ilmu, menyatukan hati, dan menanamkan cinta tanah air di daday santrinya.
Pertemuan di Serambi Masjidil Haram
Aku melihatnya pertama kali dari jauh.
Seorang lelaki tua berjubah putih, duduk di antara murid-muridnya di serambi timur Masjidil Haram.
Suaranya lembut, tapi setiap kalimatnya menembus seperti pedang.
Orang-orang menyebutnya: “Sayyidul Ulama al-Jāwiyyīn wal Hijaz” Penghulu para Alim Ulama Nusantara dan Hijaz sekaligus.
Makkah, musim haji tahun 1302 H.
Matahari sore jatuh di balik Jabal Abu Qubais, mewarnai dinding Ka‘bah dengan kilau keemasan.
Aku berdiri di serambi Masjidil Haram, mencoba menulis laporan untuk pemerintah kolonial.
Namun, hari itu tanganku berhenti menulis.
Di hadapanku, duduk seorang ulama tua dari Banten.
Ia berbicara pelan, tapi setiap kalimatnya terasa seperti doa yang menembus udara.
Santri-santri dari Jawa, Sumatera, dan Pattani duduk bersimpuh di sekelilingnya.
Suara mereka bergema pelan membaca syarah dari kitab Nihāyatuz Zain, sementara di langit, burung-burung berputar seolah ikut mengamini.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.