Bagian X: Ketika Pena Menjadi Pedang

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.

|
Editor: Abdul Rosid
Kitab
Bagian X: Ketika Pena Menjadi Pedang 

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.

TRIBUNBANTEN.COM - Malam di Syieb ‘Ali tak pernah benar-benar gelap.
Ada cahaya samar datang dari Ka‘bah, seperti melewati lorong-lorong rumah, hinggap di jendela kecilku, dan menyelinap ke atas naskah-naskah yang berserakan di meja.
Dan setiap kali cahaya itu menyentuh tinta di ujung penaku, aku selalu teringat satu hal:

“Pena adalah pedangku dan dengan inilah aku membela bangsa Jawi.”

Aku menulis bukan untuk pujian, bukan pula untuk ketenaran.
Aku menulis karena bangsaku terjajah oleh penjajah bersenjata, oleh kaum puritan berhati beku, oleh kebodohan yang dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan.

Ilmu harus menjadi pedang yang paling tajam.

Baca juga: Bagian IX: Tinta yang Menjadi Peradaban

RIWAYAT DUA SANAD: CAHAYA DAN BARA

Di atas meja itu, dua sanad besar berdiri berdampingan.
Satu adalah sanad cahaya:
emas Asy‘ariyyah yang menghubungkanku dengan Zakariyya al-Anshari, ar-Razi, hingga Imam al-Haramain,
dan berakhir pada Abu Hasan al-Asy‘ari, sang pendiri Ahlussunnah wal Jama‘ah.

Sanad itu menyalakan akal dan hati.
Mengajari bahwa tauhid bukan sekadar meniadakan sekutu,
tetapi memecahkan kesombongan diri yang menjadi hijab antara manusia dan Tuhannya.

Namun sanad kedua adalah sanad bara:
rantai ilmu yang membawaku pada pemikiran Muhammad bin Abdil Wahhab at-Tamimi an-Najdi—
pemikiran yang kelak paling keras kutolak.

Dan aku mempelajarinya bukan untuk mengikuti,
tetapi untuk memahami sebelum mengoreksi.
Karena hanya orang yang mengenal racun yang dapat meracik penawarnya.

 ILMU SEBAGAI JIHAD: RUMUSAN KURIKULUM YANG KUBANGUN

Setelah memahami dua aliran itu, hatiku kian teguh:

“Anak-anak Jawi membutuhkan jalan ilmu yang lengkap—urutan yang benar, adab yang kuat, dan sanad yang jelas.”

Malam itu, setelah aku mengurai sanad Asy‘ariyyah dan menutup Qam‘ ath-Thugyān, aku memandang tumpukan kitab hasil tanganku sendiri.
Setiap kitab bukan sekadar tinta; mereka adalah senjata.
Bukan untuk melukai tubuh, melainkan untuk membela martabat sebuah bangsa yang jauh di timur — bangsa Jawi yang sedang dijajah oleh orang-orang berkulit putih dan oleh ideologi yang kering dari kasih.

Maka kutulis kurikulum fiqh Syafi‘i Nusantara dengan strategi seorang panglima:
dimulai dari masalah paling sederhana, menuju persoalan yang paling kompleks.

Kitab-kitab itu seperti anak tangga menuju kemerdekaan jiwa.

1. Sullamul Munajat

Syarah Safinatus Sholah - Untuk Imam Kampung dan Rakyat Jelata

(dicetak 1297 H  usiaku 67)

Safinatus Sholah adalah kitab dasar tentang shalat.
Namun rakyat Jawi hidup dalam realitas yang tak dicatat kitab-kitab Timur Tengah:

shalat di atas perahu nelayan,

kiblat di desa yang tak pernah melihat kompas,

masjid bambu yang tidak menghadap arah Ka‘bah secara presisi,

imam kampung yang hanya lulusan surau rumah,
jamaah yang bekerja di sawah dari pagi hingga senja.

Karena itu, dalam Sullamul Munajat, aku tidak hanya menjelaskan hukum shalat,
tetapi menjawab realitas mereka:

bagaimana menentukan kiblat di Jawa, Madura, Banten, Sumatera;

bagaimana wudhu bagi petani yang airnya keruh;

bagaimana niat shalat bagi masyarakat yang baru mengenal Islam secara formal;

bagaimana hukum shalat musafir bagi para pedagang yang lintas desa;

bagaimana perbedaan cara adzan di desa dan di kota.

Inilah kitab fiqh pertama yang benar-benar berwajah Nusantara.
Aku tulis agar masyarakat sederhana tidak tersesat dalam ibadah.

Ini bukan kitab Arab untuk orang Arab.
Ini kitab Arab untuk anak-anak Jawi, ditulis oleh seorang anak Jawi.

 2. Ats-Tsimarul Yani‘ah

Syarah Ar-Riyadhul Badi‘ah - Buku Teks Fiqh Pemula untuk Santri Surau

(1277–1278 H; dicetak 1299 H)

Ketika adikku, Abdullah bin Umar, memintaku menulis syarah untuk fiqh dasar,
aku sadar bahwa Nusantara kekurangan buku pegangan sistematis bagi santri baru yang baru bisa membaca huruf Arab gundul.

Maka dalam kitab ini kutulis:

konsep najis yang sesuai kebiasaan lokal Nusantara (sawah, lumpur, kandang);

hukum air tergenang di desa banjir;

perbedaan air sumur dan air sungai di kampung-kampung Jawi;

fiqh mandi besar bagi anak-anak yang baru baligh;

fiqh doa harian, adab sederhana, dan tata cara hidup bersih.

Santri pemula di Jawa, Sunda, Madura, Banjar, Makassar — semuanya memulai jalan fiqhnya dari kitab ini.

Ini adalah batu bata pertama dari kurikulum fiqh Syafi‘i Nusantara.

3. Kasyifatus Saja

Syarah Safinatun Naja - Jawaban Praktis Atas Masalah Nyata Umat (1277 H)

Bila Ats-Tsimarul Yani‘ah adalah dasar,
maka Kasyifatus Saja adalah fiqh praktis untuk keseharian.

Di sini aku menjelaskan:

bagaimana wudhu di sungai keruh yang digunakan kerbau;

bagaimana shalat Jumat di kampung kecil yang penduduknya belum mencapai 40 orang;

bagaimana tayamum bagi peladang yang berjalan jauh;

zakat padi, zakat kelapa, zakat ikan — sesuatu yang tidak dibahas ulama Timur Tengah;

cara puasa bagi nelayan yang melaut sebelum subuh;

haji orang Nusantara yang harus menempuh perjalanan berbulan-bulan.

Kitab ini lahir karena fiqh harus menjawab realitas, bukan hanya teks.

4. Bahjatul Wasa’il

Syarah Risalah Jami‘ah - Ensiklopedia Mini Iman, Islam, Ihsan (1292 H, Bulaq)

Umat Jawi sering terjebak antara ritual tanpa ruh dan tasawuf tanpa aturan.
Aku ingin mengembalikan mereka kepada keseimbangan.

Karena itu, kitab ini menjelaskan:

iman (apa saja yang wajib diyakini),

Islam (syariat lahiriyah),

ihsan (bagaimana hati menghayati ibadah),

adab murid kepada guru,

adab guru kepada murid,

bagaimana menata niat sebelum ibadah,

bagaimana agar ibadah tidak menjadi rutinitas mati.

Kitab ini adalah jantung kurikulumku.
Tanpa ihsan, fiqh hanyalah tulang tanpa daging.

 5. Mirqat Shu‘ūdit TashdiqT

Syarah Sullam at-Taufiq - Peta Adab dan Akhlak Muslim Nusantara (1292 H)

Umara boleh memerintah rakyat,
ulama boleh mengajar santri,
tetapi yang menghidupkan bangsa adalah adab.

Dalam kitab ini kujelaskan:

adab makan,

adab tidur,

adab bergaul,

adab mencari ilmu,

adab bertetangga,

adab menjaga hati,

adab memohon ampun.

Ini kitab yang membentuk karakter santri Nusantara: lembut, sopan, dan beradab.
Tak mungkin pesantren bertahan ratusan tahun tanpa kitab ini.

 6. Fathul Mujib

Manasik Haji - Pedoman Orang Jawi yang Pertama Kali Menjejak Hijaz

(1276 H - kitab pertama yang kutulis)

Orang Jawi yang berangkat haji mengalami perjalanan berbeda dengan orang Arab:

mereka menumpang kapal layar,

menghadapi badai di Samudra Hindia,

singgah di Penang dan Gujarat,

membawa bekal dari kampung,

dan tiba di Jeddah dengan tubuh lelah.

Karena itu, aku menulis:

cara menjaga wudhu di kapal,

hukum mabuk laut,

bagaimana niat ihram bila kapal belum merapat,

bagaimana thawaf bagi jamaah yang lemah,

cara berhaji bagi yang tak punya biaya cukup.

Aku ingin setiap orang Jawi yang datang ke Ka‘bah merasakan bimbingan seorang ayah.

7. Uqūd al-Lujain fī Huqūq az-Zaujain

Kitab Rumah Tangga - Agar Bangsa Tidak Retak dari Dalam (1294 H; terbit 1296)

Penjajah selalu memulai dari merusak keluarga.

Karena itu, kitab ini kuisi dengan:

hak suami, hak istri,

cara mendidik anak,

cara menanamkan cinta,

etika marah,

etika meminta maaf,

adab berhubungan,

bagaimana membangun rumah sebagai taman rahmah.

Kitab ini menjadi pilar kursus pra-nikah semua pesantren Nusantara hingga hari ini.

8. Muraqil ‘Ubudiyyah

Syarah Bidayatul Hidayah - Jalan Ibadah ala Imam al-Ghazali (1289 H)

Aku membawa Ghazali ke Nusantara.
Bukan sufi melayang-layang,
tetapi sufi yang menundukkan ego dan memperkuat ibadah.

Kitab ini berisi:

bagaimana shalat malam,

adab ilmu,

pembersihan hati,

cara memerangi hawa nafsu,

bahaya riya dan takabbur.

Ini kitab yang membentuk ruh santri.

 9. Tausyīḥ (Qutul Habibil Gharib)

Syarah Fathul Qarib - Bekal Kiai Desa dan Guru Mengaji (1301 H, usiaku 71)

Ini kitab fiqh menengah: detail, padat, rapi.
Kupakai untuk:

mencetak guru ngaji,

melatih calon kiai,

memantapkan pemahaman fiqh santri tingkat lanjut.

Di Jawa, siapa pun yang ingin menjadi kiai harus melewati kitab ini.

10. Nihayatuz Zain

Syarah Qurratul ‘Ain — Ensiklopedia Fiqh Syafi‘i Nusantara (1297 H)

Inilah puncak kurikulumku.
Kitab paling lengkap, paling matang, paling berpengaruh.

Di dalamnya kubahas:

fiqh ibadah,

fiqh sosial,

fiqh muamalah,

fiqh pernikahan,

fiqh warisan,

fiqh transaksi lokal Nusantara (sewa ladang, jual-beli hasil panen, dll.)

Kitab ini menjadi tulang punggung pesantren hingga abad ke-21.

EPILOG BAGIAN X: PENA YANG MENJADI PEDANG

Setiap kitab adalah benteng kecil.
Jika disusun bersama, ia menjadi benteng besar untuk bangsa Jawi.

Aku menulis dari ruang sempit di Syieb ‘Ali,
tapi setiap halaman yang mengering berubah menjadi pasukan:
pasukan guru, pasukan santri, pasukan adab, pasukan ilmu.

Dan aku tahu:

Bangsa yang faqih tidak dapat dijajah.
Bangsa yang beradab tidak dapat dihancurkan.
Bangsa yang berakidah lurus tidak dapat diputarbalikkan.

Karena itu, selama tanganku masih sanggup memegang pena, aku akan terus menulis.
Sebab bagi seorang ulama, pena yang jujur lebih tajam dari pedang yang terhunus.

Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved