RUU Perampasan Aset

Banyak yang Komentar tapi Belum Paham, Mahfud MD Jelaskan Mekanisme Perampasan Aset

Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, menyebut banyak pihak yang bicara mengenai mekanisme perampasan aset, namun belum memahami sepenuhnya.

Editor: Ahmad Haris
Youtube Mahfud MD Official
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. 

TRIBUNBANTEN.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyebut banyak pihak yang bicara mengenai mekanisme perampasan aset, namun belum memahami sepenuhnya.

Diketahui, hingga saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belum juga disahkan menjadi UU oleh DPR RI.

UU ini mengatur agar perampasan aset tidak selalu harus menunggu putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (non-conviction based), terutama dalam kondisi seperti pelaku kabur, hilang, atau belum ditemukan.

Baca juga: Pengamat Hukum Desak DPR RI Segera Sahkan RUU Perampasan Aset: Jangan Tunggu Rakyat Marah

"Saya mengikuti diskusi perampasan aset ini, banyak orang yang berkomentar tapi belum tahu," ungkap Mahfud MD dalam siniar bersama Denny Sumargo yang diunggah di kanal YouTube CURHAT BANG Denny Sumargo, Kamis (11/9/2025).

"Misalnya mengatakan, bahaya tuh Undang-Undang Perampasan Aset. Harta Anda hanya karena Anda dicurigai bisa dirampas," sambungnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan, perampasan aset dalam tindak pidana tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Menurutnya, penyidik maupun polisi tidak memiliki kewenangan merampas aset, melainkan harus melalui putusan pengadilan.

"Misalnya ini ada tindak pidana misalnya ya, rumah ini diindikasikan tindak pidana. Mas Denny pergi entah ke mana, ini rampas dulu biar dia pulang."

"Tetapi perampasan aset ini bukan dirampas oleh polisi. Bukan. Itu pengadilan yang mutus," ungkap Mahfud.

Mahfud menjelaskan, perampasan aset diusulkan oleh penyidik kepada Kejaksaan Agung.

Kemudian, Kejaksaan Agung akan meminta kepada Ketua Pengadilan untuk merampas aset itu.

"Enggak bisa langsung dirampas gitu. Nah, pidananya ya tersangkanya dicari, (dilakukan) beriringan," jelasnya.

Mahfud mengatakan, ada tindak pidana yang mana orang yang dicurigai belum ketemu, namun hartanya sudah dibagi-bagi dan bersertifikat.

"Banyak (yang seperti ini), kayak BLBI (kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) ini. Jadi dia melakukan tindak pidana gitu ya, lalu mengambil rumah misalnya milik masyarakat karena, tindakan pelanggar pidananya nih rumah diambil lalu dia sertifikatkan atas nama orang lain."

"Padahal ini harus dirampas lagi kan oleh negara. Tapi ini yang menyertifikatkan ini pelaku pidananya lari gak ketemu.  Kan tidak boleh kalau tidak ada Undang-Undang Perampasan Aset," jelas Mahfud MD.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, menjelaskan perampasan aset tidak hanya dapat dilakukan untuk perkara tindak korupsi saja.

"Bukan hanya korupsi, namun tindak pidana. Jadi tindak pidana apa saja yang misalnya masyarakat sipil gitu ya, rakyat sipil kan korupsi itu biasanya pejabat."

"Rakyat misalnya mengambil hartanya orang lain lalu dia lari gitu. Dicari ke mana-mana gak ada, ambil aja hartanya, rampas. Nah, kalau mau diadili, balik, nanti dihitung."

"Tapi perampasan ini dilakukan oleh pengadilan. Bukan oleh penyidik. Harus ada putusan dari pengadilan," jelas Mahfud MD.

Mandek​ 17 Tahun, Begini Sejarah Panjang RUU Perampasan Aset

Pemimpin Republik Indonesia, Presiden Prabowo Subianto mengaku sudah berbicara dengan Ketua DPR RI Puan Maharani, agar segera membahas RUU Perampasan Aset

Pembahasan itu dilakukan Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR RI, serta para Ketua Umum Partai pada Minggu (31/8/2025). 

Melansir Tribunnews, DPR RI pun disebut sudah sepakat mau membahas RUU Perampasan Aset yang sempat mandek bertahun-tahun. 

RUU Perampasan Aset menjadi salah satu tuntutan masyarakat dalam aksi unjuk rasa selama sepekan ini. 

RUU Perampasan Aset yang bisa memiskinkan koruptor, dianggap bisa menjadi efek jera bagi para pejabat yang mencuri uang rakyat. 

Lalu sudah sampai mana progres pembahasan RUU Perampasan Aset?

RUU Perampasan Aset tindak pidana baru sempat masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas pada tahun 2023. 

Namun RUU ini belum dibahas oleh DPR RI hingga saat ini Selasa (2/9/2025). 

Dimuat Kompas.com ada dua jenis Prolegnas, yakni Prolegnas Jangka Menengah untuk waktu lima tahun dan Prolegnas Prioritas Tahunan untuk waktu satu tahun. 

Sayangnya, pada DPR RI periode baru, badan legislatif tersebut memasukan RUU Perampasan Aset ke Prolegnas untuk periode 2025-2029, alias Prolegnas Jangka Menengah, sejak tahun lalu. 

Sehingga pembahasannya bisa sangat lambat hingga tahun 2029 atau bisa lebih apabila tidak segera dibahas dari sekarang.

Sementara pemerintah yakni Kementerian Hukum mendorong agar RUU Perampasan Aset bisa masuk ke Prolegnas Tahunan agar bisa disahkan tahun 2025 ini. 

Sebagai informasi pemerintah menjadi pengusul RUU Perampasan Aset sejak tahun 2008.

Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, 18 November 2024 lalu mengatakan pemerintah dan DPR RI berkomitmen mengusulkan RUU Perampasan Aset untuk Prolegnas 2025-2029. 

Ada 40 RUU yang pemerintah ajukan dalam prolegnas 2025-2029, dan RUU Perampasan Aset itu ada di urutan kelima

Namun pada Senin (1/9/2025), RUU tentang Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah, disiapkan oleh DPR dan Pemerintah, tercantum di urutan 82, bukan Prolegnas Tahunan.

Mandeknya RUU Perampasan Aset di DPR RI tidak lain karena kesepakatan fraksi-fraksi partai politik yang terkesan ogah-ogahan membahas RUU ini. 

Akibatnya RUU Perampasan Aset ini mandek selama 17 tahun setelah naskah RUU tersebut pertama kali disusun pada tahun 2008. 

Surat Presiden atau Surpres RUU Perampasan Aset baru dikirimkan ke pimpinan DPR sejak 4 Mei 2023 lalu. 

Tapi, Surpres itu tak kunjung dibahas DPR RI periode 2019-2024.

Padahal RUU Perampasan Aset ini dipandang sebagai upaya memberi efek jera bagi koruptor dengan memiskinkan mereka.

Jadi sejarah singkatnya yakni pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU. 

Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, sayangnya usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI

Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023.

Namun pada DPR RI periode 2024-2029 RUU Perampasan Aset hanya masuk ke dalam Prolegnas jangka menengah sehingga tidak mungkin dibahas di tahun 2025 ini.

Pihak DPR RI berdalih Pembahasan RUU Perampasan Aset baru bisa disetujui jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sudah disetujui. 

Hal itu lantaran kekhawatiran adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum dalam RUU tersebut.

Sehingga DPR RI berdalih KUHP bisa meminimalisir atau mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan di RUU Perampasan Aset

Namun usai demo berdarah yang berlangsung selama sepekan ini yakni sedari Senin (25/8/2025) para fraksi di DPR RI berlomba-lomba mengaku akan segera membahas RUU Perampasan Aset

Demo tersebut dilatarbelakangi dari kekesalan masyarakat akan pengadaan tunjangan rumah senilai Rp50 juta perbulan untuk anggota DPR RI.

Setelah demo berdarah yang berujung penjarahan rumah anggota DPR RI, sejumlah fraksi di DPR RI mulai dari PDIP dan Demokrat berjanji akan segera membahas RUU Perampasan Aset

Misalnya saja PDIP menjamin akan pembahasan RUU Perampasan Aset tahun 2025 ini.

Hal itu dipastikan Wakil Ketua Baleg DPR Sturman Panjaitan pada Selasa (2/9/2025).

Sturman mengatakan DPR siap menampung aspirasi publik dan hati-hati dalam pembahasan.

Sturman berdalih lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset tidak lebih karena kehati-hatian agar undang-undang tersebut nantinya tidak tumpang tindih. 

Selain itu fraksi Partai Demokrat juga berdalih lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset lantaran kursi mereka tidak mayoritas di DPR RI yakni hanya 44 kursi.

Baca juga: Pengamat Hukum Desak DPR RI Segera Sahkan RUU Perampasan Aset: Jangan Tunggu Rakyat Marah

“Fraksi Partai Demokrat hari ini hanya berjumlah 44 orang dan kami tergabung dengan fraksi-fraksi yang lain di DPR RI,” ujarnya.

Padahal diketahui di tahun 2008 saat pertama kali RUU Pembahasan Aset disodorkan pemerintah ke DPR RI, Partai Demokrat menguasai kursi di DPR RI hingga tahun 2014.

Hingga akhirnya sembilan nyawa melayang dalam unjuk rasa yang berlangsung selama sepekan ini. 

DPR RI pun baru mulai mengaku membahas RUU yang hampir dilupakan tersebut setelah para rumah pejabat tersebut dijarah oleh warga. 

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mahfud MD Jelaskan Mekanisme Perampasan Aset, Sebut Banyak yang Komentar tapi Belum Paham

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved