Pakar Hukum Bedah KUHAP Baru: Alat Bukti, Penyitaan hingga Penyadapan

Pakar hukum mengkritisi KUHAP baru yang disahkan DPR, mulai dari aturan alat bukti pengamatan hakim hingga penyitaan barang sitaan

Editor: Abdul Rosid
Kompas.com
Pakar hukum mengkritisi KUHAP baru yang disahkan DPR, mulai dari aturan alat bukti pengamatan hakim hingga penyitaan barang sitaan 

TRIBUNBANTEN.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru pada 18 November 2025.

Namun, sejumlah pasal dalam aturan tersebut menuai kritik dari para pakar hukum karena dinilai berpotensi menimbulkan persoalan dalam implementasi, terutama terkait alat bukti, penyitaan, teknik penyelidikan khusus, hingga penyadapan.

Lantas, bagaimana penerapan hukum dari aturan tersebut?

Baca juga: Berlaku Mulai 27 November 2025, Tarif Tol Bakauheni Terbanggi Besar Lampung Naik Rp500/ Km

Pengamatan hakim sebagai alat bukti dipersoalkan

Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Binsar Gultom, menyoroti dua pasal krusial dalam KUHAP baru, seperti penambahan alat bukti “pengamatan hakim” dan ketentuan mengenai penyitaan.

Saat dihubungi Kompas.com, Binsar menyatakan, tidak sependapat dengan dimasukkannya “pengamatan hakim” sebagai alat bukti baru dalam Pasal 235 ayat (1) huruf g.

Ia menilai, konsep tersebut problematis karena lahir dari kategori alat bukti “petunjuk” yang dihapus dalam regulasi baru. 

“Alat bukti ‘petunjuk’ (yang dihilangkan) penting dimasukkan kembali sebagai alat bukti, karena ‘petunjuk’ itu justru merupakan bagian dari ‘pengamatan hakim’,” kata Binsar. 

Pengajar di Universitas Sumatera Utara (USU) itu menilai, menjadikan pengamatan hakim sebagai alat bukti berdiri sendiri dapat menimbulkan kekeliruan serius. 

“Jika ‘pengamatan hakim’ dijadikan alat bukti, berarti seolah-olah pengamatan hakim sama seperti putusan hakim yang dipakai sebagai bukti dalam perkara lain. Itu tidak boleh,” ujar dia.

Menurut Binsar, dalam sistem negatief wettelijk bewijsstheorie, keyakinan hakim tidak muncul tiba-tiba, tetapi dibangun melalui rangkaian alat bukti yang saling melengkapi: keterangan saksi, ahli, petunjuk, surat, barang bukti elektronik, serta keterangan terdakwa.

“Dari pengamatan hakim terhadap rangkaian alat-alat bukti itu muncul keyakinan apakah terdakwa pelakunya,” kata mantan hakim dalam perkara kopi sianida tersebut.

Aturan penyitaan berpotensi langgar praduga tak bersalah

Binsar juga mengkritik Pasal 131 ayat (1) KUHAP baru, yang memperbolehkan benda sitaan yang “lekas rusak” dimusnahkan atau dilelang oleh penyidik atau penuntut umum.

Menurut dia, aturan tersebut bertentangan dengan asas presumption of innocence, sekaligus berkontradiksi dengan Pasal 135 yang mengatur bahwa benda sitaan harus dikembalikan kepada pihak yang berhak setelah putusan inkrah.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved