SOSOK dan Profil Jenderal yang Memimpin Kudeta di Myanmar, Dikenal Otak Pembantaian Etnis Rohingya
Menurut keterangan dari mantan teman sekelasnya seperti dikutip Reuters, latar belakang Min hanyalah sosok kadet yang biasa saja.
TRIBUNBANTEN.COM, YANGOON - Militer Myanmar mengkap dan mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Aung San Suu Kyi pada hari Senin (1/2/2021). Pihak militer juga mengumumkan keadaan darurat nasional selama satu tahun.
Reuters melaporkan bahwa Aung San Suu Kyi ditahan bersama dengan para pemimpin lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) miliknya dalam penggerebekan dini hari tadi.
Pihak militer Myanmar melakukan kudeta atas dasar merasa adanya kecurangan pemilu.
Adalah panglima militer jenderal Min Aung Hlaing yang memimpin kudeta itu juga memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun di Myanmar, menurut sebuah pernyataan di stasiun televisi milik militer.

NetBlock mangabarkan militer kini menduduki balai kota Yangon sekaligus mengontrol data internet seluler serta layanan telepon. Penduduk juga melaporkan konektivitas internet turun secara drastis.
Kepada Reuters, juru bicara NLD Myo Nyunt mengatakan Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint dan para pemimpin NLD lainnya telah ditangkap pada dini hari tadi.
Sosok dan Profil Min Aung Hlaing
Min Aung Hlaing, yang lahir di Tavoy, Divisi Tenasserim pada 1956 adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar.
Mengutip Wikipedia, Min Aung Hlaing lulus kelas Matrikulasi pada tahun 1972 di BEHS 1 Latha.
Dia berkuliah di Universitas Ilmu dan Seni Rangoon.
Dari tahun 1973, ia bergabung dengan Akademi Layanan Pertahanan hingga tahun 1974. Dia dilaporkan dijauhi oleh teman-teman sekelasnya karena kepribadian pendiamnya.
Pada Maret 1972/ Rangoon Arts and Science University (Hukum) 1974 Universitas Pelatihan Korps (1971-1974 / sersan) 1974-Januari / Pertahanan Jasa Academy 1977-Desember / letnan kedua di Burma Army.
1972-Maret / Rangoon Arts and Science University (Hukum) 1974 Universitas Pelatihan Korps (1971-1974 / sersan) 1974-Januari / Pertahanan Jasa Academy 1977-Desember / letnan kedua di Burma Army.
Ayah Min Aung Hlaing adalah U Thaung Hlaing.
U Thaung Hlaing, adalah seorang insinyur sipil, bekerja di Departemen Konstruksi.
Setelah lulus, Min Aung Hlaing melanjutkan untuk posisi komando di Mon State dan pada tahun 2002, ia dipromosikan menjadi Panglima yang Segitiga Komando Daerah dan merupakan tokoh sentral dalam negosiasi dengan dua kelompok pemberontak, yang Tentara Negara Wa (UWSA) dan Tentara Nasional Aliansi Demokratik (NDAA).
Nama Jenderal Min Aung Hlaing bukan sosok yang baru didengar dunia, mengingat dia adalah otak dari penindakan terhadap etnis Rohingya.
Pada 26 Oktober 2017, Menteri Luar Negeri AS saat itu, Rex Tillerson, menelepon langsung Min dan mendesaknya agar menghentikan kekerasan.
Baca juga: Aung San Suu Kyi Ditangkap Militer, Seketika Jaringan Internet dan Telepon Myanmar Terganggu
Baca juga: Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint Ditahan Saat Tengah Malam, Ini Kronologinya

Jenderal berusia 64 tahun itu sempat mengeluhkan dunia sudah menghakiminya secara tidak adil atas "solusi akhir" atas Rohingya.
Dilansir TIME 3 November 2017, berikut merupakan secuplik profil dari Min Aung Hlaing, jenderal yang kini jadi pemimpin sementara Myanmar.
Kadet yang biasa-biasa saja
Menurut keterangan dari mantan teman sekelasnya seperti dikutip Reuters, latar belakang Min hanyalah sosok kadet yang biasa saja.
Min disebut baru bisa menembus Akademi Badan Pertahanan yang dikenal elite di percobaan ketiga dan memulai karier kemiliterannya.
Sebagian besar pengabdiannya dihabiskan memerangi pemberontak di perbatasan timur, di mana dia dikenal karena melecehkan etnis minoritas.
Baca juga: Profil Aung San Suu Kyi, Anak Jenderal yang Dikecam Dunia Karena Abaikan Pembantaian di Rohingya
Pada 2009, dia memimpin operasi di perbatasan Myanmar-China untuk memberangus pemimpin setempat, Peng Jiasheng.
Peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Kokang ini memang berlangsung selama satu pekan. Namun, dampak yang ditimbulkan luar biasa.
Di antaranya adalah melanggar gencatan senjata selama 20 tahun, membuat 30.000 orang terpaksa mengungsi ke China.
Dan yang paling penting, mengusir kelompok separatis dari perbatasan yang selama ini memang diposisikan untuk jadi jalur perdagangan utama.
Jadi panglima militer, dianggap sosok negarawan
Pada 30 Maret 2011, Min Aung Hlaing menjadi panglima angkatan bersenjata Myanmar, dikenal sebagai Tatmadaw.
Dia memimpin transisi kekuasaan dari tangan militer yang hampir 50 tahun berkuasa ke tangan sipil. Namun, pengamat menyebut itu semu.
Sebabnya, hubungan itu dianggap sekadar top-down. Militer tidak ingin gerakan rakyat makin meluas sembari mereka memertahankan kekuasaan.
Selain itu, dia juga membuyarkan harapan negara Barat yang menganggap sang panglima sebagai sosok negarawan dan caranya berbicara sangat jelas.

Pada 2015, kepada BBC dia mengungkapkan tidak bisa mengatakan dengan pasti kapan pemerintahan Myanmar akan diserahkan ke sipil seluruhnya.
"Mungkin saja lima tahun. Mungkin juga bisa berlangsung selama 10 tahun. Saya tak bisa mengatakannya dengan jelas," paparnya.
Baca juga: Ledakan Hebat Mengguncang Ibu Kota Arab Saudi
Min, meski hanya memimpin tiga kementerian, pertahanan, urusan perbatasan, dan urusan dalam negeri, pengaruhnya sangat besar.
Sementara pemerintahan sipil bisa menelurkan legislasi, Min dan kroninya memegang kekuasaan dari polisi, pasukan perbatasan, hingga Departemen Administrasi Umum.
Min Aung Hlaing juga mendapat wewenang memilih seperempat anggota parlemen, yang bisa memveto jika ada kebijakan yang tak menguntungkan.
Kemudian mereka sewaktu-waktu bisa melakukan kudeta, dengan klausul "militer berhak mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati".
Kecurangan pada pemilu diduga jadi alasan kudeta militer Myanmar
Aung San Suu Kyi sempat memenangkan hadiah Nobel Perdamaian atas usahanya dalam perjuangan untuk demokrasi dengan junta Myanmar. Usaha kerasnya tersebut membuatnya menjadi ikon nasional sekaligus tahanan rumah selama beberapa dekade.
Pada pemilihan di bulan November, NLD memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan, tetapi militer mengatakan pemungutan suara itu curang.
NLD memenangkan 83 persen kursi yang tersedia dalam pemilihan 8 November dalam apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai referendum terhadap pemerintahan sipil Suu Kyi.
Namun militer membantah hasil tersebut, mengajukan pengaduan ke Mahkamah Agung terhadap presiden dan ketua komisi pemilihan.
Ketakutan akan kudeta militer meningkat setelah militer baru-baru ini mengancam akan "mengambil tindakan" atas dugaan penipuan. Komisi pemilihan telah menolak tuduhan tersebut.
Majelis rendah parlemen yang baru terpilih dijadwalkan bersidang untuk pertama kalinya pada hari Senin, tetapi militer menyerukan penundaan.
Reaksi Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) mendesak militer Myanmar untuk membebaskan pejabat yang ditahan, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, dan memperingatkan respons dari Washington atas kudeta.
Suu Kyi dan Presiden Myanmar ditahan setelah berminggu-minggu peningkatan ketegangan antara militer dan pemerintah sipil atas tuduhan kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada November tahun lalu.
Baca juga: Joe Biden Resmi jadi Presiden Amerika Serikat Lengserkan Donald Trump
"Amerika Serikat menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggungjawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki, Senin (1/2).
"Kami mendesak militer dan semua pihak lain untuk mematuhi norma demokrasi dan supremasi hukum, dan membebaskan mereka yang ditahan hari ini," ujar Psaki, seperti dikutip Reuters.
PBB Mengecam
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengecam penangkapan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi dalam rangkaian kudeta militer yang berlangsung hari ini.
Saat ini, militer Myanmar telah menyatakan keadaan darurat dan akan berlangsung hingga satu tahun lamanya.
"Ini merupakan pukulan serius bagi reformasi demokrasi di Myanmar," ungkap Stephane Dujarric, juru bicara Guterres, dalam sebuah pernyataan resmi yang dikutip Kyodo News.
Hari ini, parlemen Myanmar sebenarnya akan melakukan sidang perdana sejak pemilihan umum 8 November 2020 lalu. Pemilu dimenangkan oleh partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Sayangnya, pihak oposisi, termasuk militer di dalamnya, menolak hasil pemilu tersebut dan menuding ada kecurangan yang masif di baliknya.
PBB sendiri menilai, kemenangan Suu Kyi dalam pemilu menunjukkan bahwa rakyat Myanmar memang menginginkan reformasi demokrasi.
"Hasil pemilihan umum mencerminkan keinginan yang jelas dari rakyat Myanmar untuk melanjutkan jalan reformasi demokrasi yang dimenangkan dengan susah payah," ungkap pernyataan PBB.
Guterres pun mendesak pimpinan militer Myanmar untuk menghormati kemauan rakyat yang tercermin dari hasil pemilu. Ia meminta militer untuk tetap berpegang pada norma demokrasi dan mengutamakan dialog untuk menyelesaikan perbedaan.
Bagaimana krisis ini bermula?
Meski di dunia dia dihujat karena penindakan atas etnis Rohingya, Aung San Suu Kyi tetaplah figur populer di negaranya.
Karena itu partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengamankan kemenangan besar dalam pemilu November 2020.
Total, dia mendapatkan 258 House of Representatives (majelis rendah), dan 138 House of Nationalities (majelis tinggi).
Namun militer, yang sudah menguasai negara di Asia Tenggara itu dalam 60 tahun terakhir, menyebut pemilu November 2020 penuh kecurangan.
Mereka mengeklaim menemukan lebih dari 10 juta pelanggaran suara, dan meminta komisi pemilu untuk melakukan pencocokan dengan temuan tersebut.
Baca juga: Beda Budaya Politik Indonesia dan Amerika Serikat, Saling Puji Antar Paslon Sesuatu yang Mahal
Tensi mulai meningkat setelah Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima militer Myanmar memberikan ancaman kudeta.
Dalam pernyataannya pekan lalu, Jenderal Min menuturkan dia tak segan mencabut konsitusi jika dia menganggap tidak dihormati.
Pekan lalu, tank mulai dipasang berjejer di kota utama seperti Naypydaw dan Yangon, dengan kelompok pro-militer berunjuk rasa.
Apa yang bakal terjadi?
Setelah menangkap sejumlah pemimpin sipil, militer mengumumkan keadaan darurat dan bakal berkuasa selama satu tahun.
Myint Swe, mantan jenderal yang saat ini berstatus wakil presiden, bakal menjadi penjabat presiden hingga tahun depan.
Dalam pernyataan yang dirilis Mywaddy TV, kendali pemerintahan, legislasi, dan hukum akan diserahkan ke Min Aung Hlaing.
Apakah kudeta ini pernah terjadi?
Sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1948, Myanmar yang dulunya bernama Burma sebagian besar sejarahnya dikuasai militer.
Pada 1962, Jenderal Ne Win melakukan kudeta dan mengenyahkan pemerintahan sipil setelah dia menganggapnya tak cukup terampil memimpin negara.
Dia berkuasa selama 26 tahun dan mundur pada 1988, setelah aksi protes muncul buntut stagnasi ekonomi dan pemerintahan yang otoriter.
Generasi baru junta militer menggantikan Ne, di mana mereka berkilah perlunya memulihkan ketertiban dan keamanan negara.
Pada 2011, Jenderal Than Shwe mengundurkan diri dan menyerahkan pemerintahan ke para pensiunan perwira tinggi.
Apakah konstitusi bakal dipertahankan?
Dalam konstitusi 2008, dijelaskan bahwa militer memegang kekuasaan besar melalui kementerian pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri.
Segala perubahan dalam kebijakan membutuhkan persetujuan militer, yang menguasai seperempat kursi parlemen.
Analis politik Khin Zaw Win berujar, besarnya kekuasaan angkatan bersenjata membuat konstitusi itu sangat tidak populer.
Sejak memenangkan pemilu 2015, pemerintahan Aung San Suu Kyi mengupayakan amendemen, namun menelan pil pahit.
Selama masa jabatan terakhir, dia menghindari mendapat jabatan presiden sehingga dia secara de facto adalah "kanselir negara".
Menurut analis politik Soe Myint Aung, celah yang dibuat oleh Suu Kyi ini tidak bisa diperkirakan oleh kalangan militer.
"Dari perspektif mereka, angkatan bersenjata jelas kehilangan besar dalam usaha mereka mengintervensi politik," jelas Soe.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul PROFIL Jenderal Pemimpin Kudeta di Myanmar, Dikenal Juga Sebagai Otak Pembantaian Etnis Rohingya