Seba Baduy, 7 Warga Baduy Dalam Jalan Kaki Tanpa Alas dari Lebak ke Kota Serang Berbekal Ini

Mereka menggendong tas yang dibuat dari lilitan kain putih. Dan mereka berjalan tanpa saling mendahulukan di bawah rintikan air hujan.

Penulis: mildaniati | Editor: Abdul Qodir
Tribunbanten.com/Mildaniati
Tujuh warga Suku Baduy Dalam melakukan perjalanan dari Aula PPK Kabupaten Lebak Rangkasbitung ke Kota Serang dengan berjalan kaki, pada (21/5/2021), dalam rangka rangkaian tradisi Seba Baduy. 

Laporan wartawan TribunBanten.com, Mildaniati

TRIBUNBANTEN, LEBAK - Puluhan warga Suku Baduy melanjutkan rangkaian ritual Seba Baduy usai prosesi penyerahan hasil bumi ke Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya di Aula PKK Kabupaten, Rangkasbitung, Lebak Jumat (21/5/2021) petang.

Sebanyak tujuh warga Suku Baduy Dalam di antaranya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki tanpa alas kaki dari Aula PKK Kabupaten Lebak menuju Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten di Kota Serang sejauh sekitar 50 kilometer.

Sementara, 17 warga Suku Baduy Luar yang identik dengan busana hitam dan ikat kepala biru, melakukan perjalanan dari lokasi tersebut menuju Kabupaten Pandeglang.

Bedanya, warga Suku Baduy Luar melakukan perjalanan itu dengan menumpangi kendaraan dan dikawal pihak kepolisian.

Untuk ketujuh warga Suku Baduy Dalam sebelumnya sudah berjalan kaki puluhan kilometer dari tempat tinggal masyarakat Suku Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar ke Aula PKK Kabupaten di Rangkasbitung.

Baca juga: Tradisi Ratusan Tahun Seba Baduy Kali Ini Digelar Sederhana, Berikut Parade Fotonya

Pantauan TribunBanten.com, ketujuh warga Suku Baduy Dalam itu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna putih saat berjalan kaki di tepi jalan di wilayah Rangkasbitung saat perjalanan menuju Kota Serang

Mereka menggendong tas yang dibuat dari lilitan kain putih. Dan mereka berjalan tanpa saling mendahulukan di bawah rintikan air hujan.

Tujuh warga Suku Baduy Dalam melakukan perjalanan dari Aula PPK Kabupaten Lebak Rangkasbitung ke Kota Serang dengan berjalan kaki, pada (21/5/2021), dalam rangka rangkaian tradisi Seba Baduy.
Tujuh warga Suku Baduy Dalam melakukan perjalanan dari Aula PPK Kabupaten Lebak Rangkasbitung ke Kota Serang dengan berjalan kaki, pada (21/5/2021), dalam rangka rangkaian tradisi Seba Baduy. (Tribunbanten.com/Mildaniati)

Karman, warga Suku Baduy Dalam dari Desa Cibeo mengatakan, tas yang dibawanya berisi dua potong baju ganti, golok dan beberapa bekal makanan.

Ia sudah tiga kali melaksanakan Seba Baduy. Namun, ritual Seba Baduy pada dua tahun terakhir dilakukan di tengah bencana pandemi Covid-19 yang mengharuskan adanya sejumlah pembatasan. 

Baca juga: Masyarakat Suku Baduy Tetap Ingin Gelar Tradisi Ratusan Tahun Seba Baduy Mulai Besok Sampai Minggu

Meski begitu, ia dan beberapa warga Suku Baduy Dalam tetap melaksanakan Seba Baduy demi menjaga tradisi leluhur yang telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu.

"Cuman aya tujuh jema perwakilan ti Baduy Jero, nyaeta ti Desa Cikeusik, Cibeo, Cikartawana (Cuma ada tujuh orang perwakilan dari Baduy Dalam, yaitu dari Desa Cikeusik, Cibeo, Cikartawana)," ujar Karman saat berbincang dengan TribunBanten.com di lokasi.

  

Seba Baduy, Tradisi Ratusan Tahun Masyarakat Baduy Syukuri Hasil Bumi

Masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam saat acara tradisi Seba Baduy.
Masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam saat acara tradisi Seba Baduy. (Dok. Humas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)

Hingga kini, masyarakat Baduy atau yang biasa disebut Urang Kanekes, masih memegang teguh adat leluhur, salah satunya tradisi menyerahkan hasil bumi atau Seba Baduy.

“Seba berarti seserahan. Seba Baduy menjadi ungkapan rasa syukur dan media komunikasi dengan pemerintah,” kata Kepala Dinas Pariwisata Banten Eneng Nurcahyati dalam keterangan tertulis, Selasa (11/2/2020).

Hasil bumi seperti padi, gula aren, pisang, sayuran, dan palawija akan dibawa saat long march sepanjang ratusan kilometer.

Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Event) Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Rizki Handayani mengatakan, tradisi Seba Baduy merupakan salah satu event besar.

Baca juga: Para Penambang Emas Ilegal Tinggalkan Lubang di Gunung Liman yang Disakralkan Masyarakat Baduy

“Wajar bila Seba Baduy selalu dibanjiri wisatawan. Mereka tertarik karena masyarakat Baduy tetap memegang tradisi, meski dunia mengalami modernisasi,” kata dia.

Jalannya ritual Seba Baduy Ritual Seba Baduy biasanya diikuti ribuan masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar atau Baduy Pendamping, ditandai dengan pakaian hitam dan ikat kepala biru.

Sementara itu, Baduy Dalam atau Urang Jero memakai busana dan ikat kepala putih. Urang Jero bisa dijumpai di Kampung Cibio, Cikawartana, dan Cikeusik.

Tak hanya menyerahkan hasil bumi, Seba Baduy sesungguhnya meliputi rangkaian tradisi yang panjang. Awalnya, Urang Kanekes akan menjalani ritual Kawalu selama tiga bulan penuh.

Kawalu merupakan ritual yang dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hasil bumi. Namun, Kawalu tertutup bagi masyarakat umum.

Kawalu dibagi menjadi tiga sesi. Pada sesi ketiga, nuansa religi makin kental. Urang Kanekes berusia di atas 15 tahun wajib berpuasa.

Ritual berbukanya pun unik.

Warga Baduy Dalam dan Baduy Luar berjalan ratusan kilometer dari tempat tinggalnya di Lebak menuju Kantor Gubernur Banten, Kota Serang, Sabtu (3/5/2014). Dalam tradisi tahunan bernama
Warga Baduy Dalam dan Baduy Luar berjalan ratusan kilometer dari tempat tinggalnya di Lebak menuju Kantor Gubernur Banten, Kota Serang, Sabtu (3/5/2014). Dalam tradisi tahunan bernama "Seba Baduy" tersebut warga Baduy mengantarkan hasil bumi kepada Bupati Lebak dan Gubernur Banten untuk melakukan komunikasi dengan pemerintah. (Tribunnews.com/Dany Permana)

Sebelum makan dan minum, Urang Kanekes akan memakan daun sirih dan gambir. Ritual pun diakhiri dengan Ngalaksa atau aktivitas saling berkunjung.

Pada Ngalaksa, Urang Kanekes akan bersilaturahim dengan kerabat dan tetangga, sembari membawa hasil bumi.

Baca juga: Tradisi Warga Pandeglang: Pukul Tongtrong Sebagai Tanda Kematian, Disimpan di Masjid Miftahul Huda

Kemudian, akan dilakukan dialog budaya antara Baduy Pendamping dan Urang Jero, bersama para panggede atau pemerintah. Dialog itu membahas kelestarian alam.

Hal tersebut dikarenakan Urang Kanekes memiliki hukum adat berbunyi, "Gunung Tak Diperkenankan Dilebur, Lembah Tak Diperkenankan Dirusak, Larangan Tak Boleh Diubah, Panjang Tak Boleh Dipotong, Pendek Tak Boleh Disambung, Yang Bukan Ditolak Yang Jangan Harus Dilarang, dan Yang Benar Haruslah Dibenarkan."

“Dengan menganut hukum adat, keseimbangan hidup manusia dan alam akan terus terpelihara. Akan banyak manfaat positif yang mengalir. Serupa event Seba Baduy yang menggerakkan perekonomian masyarakat secara maksimal,” kata Rizki.

Artikel lain terkait Seba Baduy di TribunBanten.com

Sumber: Tribun Banten
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved