Dinilai Tidak Adil, Anak Pahlawan Revolusi Uji Materi Inpres 2/2023 ke Mahkamah Agung

Untung Mufreni, anak Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, mengajukan uji materi terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung

Editor: Glery Lazuardi
Istimewa
Untung Mufreni, anak Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, mengajukan uji materi terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 (Inpres 2/2023) ke Mahkamah Agung (MA). Upaya pengajuan uji materi itu, karena dia menilai penerbitan Inpres 2/2023 tidak adil. 

TRIBUNBANTEN.COM - Untung Mufreni, anak Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, mengajukan uji materi terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 (Inpres 2/2023) ke Mahkamah Agung (MA).

Upaya pengajuan uji materi itu, karena dia menilai penerbitan Inpres 2/2023 tidak adil.

Inpres Nomor 2 Tahun 2023 itu tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat.

Selain Inpres 2/2023, Untung Mufreni juga menguji materi Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 (Keppres 17/2022) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu.

Dan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 (Keppres 4/2023) tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Hal itu disampaikan dalam setelah mengajukan uji materi di kantor MA pada Jumat (14/7/2023) sore.

Baca juga: 20 Inspirasi Kata-kata Bijak Para Pahlawan untuk Peringatan HUT ke-78 RI, Cocok Dikirim ke Instagram

Untung Mufreni didampingi kuasa hukum Alamsyah Hanafiah.

"Kami tidak pernah ribut ada anak keturunan PKI masuk ke partai, mau jadi artis silakan. Mau masuk ke pemerintahan silakan. Kami tidak pernah ribut. Tetapi soal (Inpres 2/2023,-red) kami tidak bisa terima," ujarnya kepada wartawan.

Inpres 2/2023 menyebutkan presiden memerintahkan sejumlah kementerian/lembaga untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Dalam isi beleid tersebut, presiden mengeluarkan rekomendasi terhadap 16 menteri serta Kapolri, Jaksa Agung hingga Panglima TNI untuk melaksanakan rekomendasi.

Adapun pembiayaan untuk pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibebankan pada masing-masing kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sesuai tugas dan fungsi.

Adapun korban yang dimaksud berdasarkan temuan Komnas HAM yakni mereka para keluarga atau pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

Atas dasar itu, Untung Mufreni selaku anak dari salah satu Pahlawan Revolusi menilai tidak adil. Hal ini, karena anak para Pahlawan Revolusi tidak mendapatkan pemulihan hak.

"Anak-anak komunis itu dapat, kami tidak dapat. Ini tidak adil. Kami keberatan. Tolong diperhatikan. Kami anak bangsa. Kami juga berjuang," kata dia.

Sementara itu, Alamsyah Hanafiah, selaku kuasa hukum dari Untung Mufreni menilai Inpres 2/2023, Keppres 17/2022, dan Keppres 4/2023 bertentangan dengan aturan perundang-undangan, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, dan Keputusan Presiden Nomor 104 Tahun 1966.

TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

"Harus dibatalkan. Secara yuridis di Inpres dan Keppres bertentangan dengan TAP MPRS. Di mana partai komunis partai terlarang," ujar Alamsyah.

Baca juga: BREAKING NEWS Wartawan dan Pejuang Kemerdekaan RI KH Samaun Bakri Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Dia mengklaim Inpres 2/2023 itu mengisyaratkan negara mengakui telah berbuat kesalahan terhadap pelanggaran HAM berat atas peristiwa G30SPKI.

"Negara mengakui kesalahan orang yang dituduh komunis. Inpres berlaku sepihak kepada orang yang dituduh komunis," kata dia.

Dia mengungkapkan rekonsiliasi peristiwa 1965 harus melibatkan kedua belah pihak.

Namun, dia menilai, jika mengacu pada Inpres 2/2023, maka anak dari para Pahlawan Revolusi belum mendapatkan keadilan.

"Tidak ada rasa keadilan. Kami meminta dibatalkan karena berlaku sepihak. Anak-anak Pahlawan Revolusi tidak dapat apa-apa. Ini tidak benar," tambahnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved