Warga Cibaliung Desak Penyelesaian Konflik Agraria dengan Perhutani, Wabup Iing Janji Tindak Lanjuti

Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi, menanggapi aksi demonstrasi yang digelar ratusan warga Kecamatan Cibaliung.

Penulis: Misbahudin | Editor: Abdul Rosid
TribunBanten.com/Misbahudin
Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi, menanggapi aksi demonstrasi yang digelar ratusan warga Kecamatan Cibaliung di depan Gedung DPRD Pandeglang pada Kamis (8/5/2025).  

Laporan wartawan Tribunbanten.com, Misbahudin 

TRIBUNBANTEN.COM, PANDEGLANG – Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi, menanggapi aksi demonstrasi yang digelar ratusan warga Kecamatan Cibaliung di depan Gedung DPRD Pandeglang pada Kamis (8/5/2025). 

Dalam aksinya, masyarakat menuntut penyelesaian segera terhadap konflik agraria dengan Perhutani dan pembebasan tiga warga yang ditangkap polisi hutan (Polhut).

Baca juga: BKD Banten Bongkar Kecurangan Rekrutmen RSUD Labuan dan Cilograng: 44 Orang Terima Afirmasi Ilegal

Tanggapan Wabup Iing

Iing mengaku baru mengetahui permasalahan tersebut setelah adanya aksi demonstrasi. 

Ia berkomitmen untuk segera mengagendakan pertemuan dengan pihak Perhutani guna mendapatkan keterangan secara utuh. 

"Segera kami tindaklanjuti untuk mengagendakan bertemu dengan pihak Perhutani, agar bisa mendapatkan keterangan secara utuh," ujarnya dalam pesan singkat, Sabtu (10/5/2025).

Baca juga: Tunggakan BPJS Kesehatan Perangkat Desa se-Pandeglang Akhirnya Lunas, Wabup: Sudah Aktif Kembali

Kronologi Konflik Agraria di Cibaliung

Koordinator aksi, Repi Rizali, menyampaikan bahwa konflik agraria antara warga dan Perhutani harus segera diselesaikan. 

Ia juga meminta agar tiga warga yang ditangkap segera dibebaskan, karena mereka hanya mengambil kayu untuk kebutuhan pribadi, bukan untuk dijual.

"Mereka bukan maling, mereka hanya memanfaatkan kayu yang lahannya sudah sejak dulu ditempati para warga," ujarnya. 

Masyarakat mengklaim telah mengelola lahan tersebut sejak lama, bahkan sebagian memiliki bukti girik dan pembayaran pajak yang sah. 

Namun, sejak Perhutani menanam pohon mahoni pada tahun 1980 dan pohon jati pada tahun 1992, mereka mengklaim lahan tersebut sebagai kawasan hutan di bawah penguasaan mereka.

"Nah proses penanaman ini dilakukan oleh warga, cuma bibit disediakan oleh Perhutani dengan cara mereka memaksa warga untuk menanam pohon itu," jelasnya. 

"Sejak saat itu, mereka mengklaim secara sepihak bahwa lahan tersebut adalah kawasan hutan di bawah penguasaan mereka," katanya.

Pada tahun 1999, masyarakat mulai mengalami intimidasi dari sekelompok orang bersenjata yang diduga Brimob dan preman bayaran utusan Perhutani.  

Mereka yang vokal menentang penguasaan lahan oleh Perhutani ditangkap. Insiden besar terjadi pada tahun 2001, ketika 49 petani ditangkap oleh aparat.

"Mereka yang vokal menentang penguasaan lahan oleh Perhutani ditangkap, insiden besar terjadi kembali pada tahun 2001, ketika 49 petani ditangkap oleh aparat," katanya. 

"Mereka juga diborgol, dilempar ke mobil, dan dibawa ke Polres Pandeglang."

"Dari jumlah 40 orang dipulangkan, setelah pemeriksaan sedangkan 9 orang ditahan," sambungnya.

Selanjutnya, tahun 2004 masyarakat masih terus membayar pajak tanah."

"Namun sejak tahun 2005, pemerintah desa menolak menerima pembayaran pajak tanpa alasan yang jelas. 

"Maka dari itu kami meminta kepada pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat untuk hadir memberikan solusi kepada kami," tegasnya. 

"Jangan sampai masyarakat melawan di luar dari pada aksi yang kita lakukan sekarang ini dan lebih keras lagi," sambungnya.

Sumber: Tribun Banten
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved