Pohon Kelapa dari Langit Tanara

Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas

Editor: Abdul Rosid
Dok/Pribadi
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama. 

Nelayan datang dengan kaki berlumur lumpur, para petani duduk bersila, dan dari bibir Sunyararas keluar doa yang lembut, seperti angin laut yang mengusap wajah sore.

“Kerajaan sejati bukan di istana,” katanya suatu petang,
“melainkan di dada yang mengenal Tuhan.”

Orang-orang mulai memanggilnya Sunan Sunyararas, karena ketenangannya seperti doa yang hidup.

Suatu senja, ia menanam sebatang kelapa muda di halaman suraunya.
Tangannya gemetar lembut, suaranya nyaris berbisik.

 “Tumbuhlah engkau, pohon,” katanya,
“karena dari tanah ini akan lahir seseorang yang menghidupkan dunia dengan ilmu.”

Ia menatap langit, dan angin Tanara berputar sejenak, membawa aroma asin dari laut, seolah mengamini doa itu.
Pohon kelapa itu tumbuh tinggi, daunnya melambai setiap kali angin subuh datang membawa zikir.

Bertahun-tahun kemudian, dari tanah tempat pohon itu tumbuh, lahir seorang alim besar, Syekh Nawawi al-Bantani, yang hidupnya seperti bayangan dari leluhurnya: sama-sama anak tanah Tanara, sama-sama mencintai ilmu lebih dari tahta, sama-sama menyalakan dunia dari kesunyian.

Menjelang wafatnya, Sunyararas duduk bersila di serambi surau.
Langit Tanara kelabu, tapi wajahnya terang. Murid-muridnya mengelilingi beliau. Ia tersenyum dan berucap pelan:

 “Jika aku tiada, jangan tangisi jasadku.
Selama Tanara masih berzikir, aku masih hidup di dalamnya.”

Lalu ia memejamkan mata, dan udara Tanara seketika terasa hening.
Konon sejak malam itu, setiap embun yang jatuh di pagi hari adalah air mata rindu Sunyararas yang tak kering, rindu seorang pangeran yang memilih sunyi, bukan mahkota.

Kata-kata yang Tertinggal di Tanara

“Tahta sejati bukan di istana, tapi di dada yang mengenal Tuhan.”
“Ilmu tanpa adab seperti laut tanpa pantai.”

“Barangsiapa mengenal dirinya, takkan memerangi saudaranya.”
“Aku bukan meninggalkan kerajaan, aku hanya menukar pedangku dengan sajadah.”

Dan di situlah novel ini bermula, dari akar yang sama, dari pohon kelapa yang ditanam seorang pangeran zuhud,
yang kelak berbuah menjadi cahaya dunia: Syekh Nawawi al-Bantani, ulama yang mewarisi darah dan jalan sunyi leluhurnya.

Sumber: Tribun Banten
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved