Suluk Tanara Bagian Kedua: Darah yang Menulis dan Rahim dari Cahaya

Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas

Editor: Abdul Rosid
Dok/Pribadi
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama. 

Ketika perang reda, Senapati Ciliwulung kembali ke pesantrennya di Cakung, mengajar santri-santrinya ilmu tauhid, fiqh, dan strategi. Ia selalu berkata kepada muridnya:

 “Jihad bukan hanya di medan perang.
Menulis ayat dengan hati bersih pun bagian dari pertempuran.”

Setia disaat Pengkhianatan

Ketika banyak bangsawan dan panglima berkhianat, berpihak kepada Sultan Haji yang menggandeng Belanda melawan ayahnya sendiri, Senapati Ciliwulung tetap setia kepada Sultan Agung Tirtayasa.

Ia memimpin pasukan di sepanjang Tirtayasa hingga Binuang dan Tangerang, menjaga jalur Tanara agar tak direbut musuh.

Dalam perang terakhir, pasukan Belanda datang dari Batavia.

Tanara menjadi medan tempur terakhir Kesultanan Banten.

Ciliwulung berdiri di barisan depan bersama Senapati Pangeran Ingayuda Singalaras, putra Sultan Tirtayasa.

Mereka menggelorakan semangat perang sabil kepada para prajurit yang tinggal sedikit.
Takbir menggema, bersahutan dengan dentuman meriam.

Pertempuran itu berlangsung sengit dan berdarah.
Namun ketika jumlah pasukan Belanda kian banyak dan senjata mereka kian canggih, satu demi satu prajurit Banten gugur menjemput syahid.

Dan di antara yang terakhir berdiri ialah dua singa utama Tanara: Pangeran Ingayuda dan Senapati Syekh Ciliwulung Wiranegara.

Keduanya syahid dalam takbir dan cahaya, pada hari Sabtu Wage, 26 Dzulhijjah 1093 H / 26 Desember 1682 M, sebagaimana tercatat dalam arsip keariyaan Tangerang di Grendeng.

“Mereka gugur di Tanara,” tulis catatan tua itu,
“dengan wajah tersenyum, dan darah mereka berbau kasturi.”

Darah yang Berbuah

Darah yang tumpah di Tanara itu tak pernah lenyap.
Ia mengalir ke dalam nadi para cucu dan cicit Syekh Ciliwulung, berubah menjadi ilmu, menjadi kesabaran, menjadi api kecil yang kelak menyala di dunia Islam.

Sumber: Tribun Banten
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved