Pohon Kelapa dari Langit Tanara
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.
TRIBUNBANTEN.COM - Kabut pagi menggantung rendah di atas rawa-rawa yang berbau asin. Sungai Ciujung mengalir tenang, bagai urat nadi yang menghubungkan laut dengan jantung Banten. Dari arah timur, matahari perlahan menyingkap bayangan kelapa yang berdiri di antara kabut, tinggi, ramping, dan seolah hendak menembus langit.
Di bawahnya, berdiri seorang lelaki berwajah teduh. Pakaiannya putih, sorot matanya jernih. Ia menatap jauh ke arah barat, ke istana Surosowan yang samar-samar tampak di kejauhan, tempat para bangsawan kini sedang sibuk memperdebatkan siapa yang lebih berhak atas takhta. Lelaki itu menunduk, menarik napas panjang, dan tersenyum tipis.
Dialah Pangeran Tajul Arsy, kelak dikenal sebagai Sunan Sunyararas, putra ke-dua belas Sultan Maulana Hasanuddin Banten, cucu Sunan Gunung Jati Cirebon, dan laksamana pertama Kesultanan Banten yang memilih kesunyian daripada kekuasaan.
Baca juga: Dua Jenazah, Dua Cermin Bangsa: Refleksi atas Wafatnya Affan Kurniawan dan Prof. Dr. H.M.A. Tihami
“Aku telah menaklukkan laut,” ujarnya pelan,
“namun belum menaklukkan diriku sendiri.”
Ia menanggalkan jubah kebesaran yang dulu dikenakannya saat memimpin armada Karangantu.
Kain putihnya berdebu, tapi matanya bersih. Ia tahu, takhta bisa menenggelamkan jiwa secepat gelombang menelan perahu.
Sultan Maulana Hasanuddin telah mangkat. Dan di antara para putranya, dua nama kini berhembus di antara angin politik: Pangeran Arya Jepara, putra dari Nyimas Ayu Dewi Kirana, putri Sultan Demak yang diasuh oleh Ratu Kalinyamat, dan Pangeran Tajul Arsy, anak dari istri bangsawan lokal Banten yang lebih pendiam, lebih dalam, lebih condong pada zikir ketimbang pedang.
Mereka berdua adalah saudara seayah, seakar dari darah yang sama.
Namun sejarah tak selalu menghendaki darah bersatu di jalan yang sama.
Arya Jepara menuju medan kuasa; Sunyararas menuju medan sunyi.
Yang satu mengasah pedang, yang lain mengasah hati.
“Aku tak ingin berperang dengan saudaraku,” gumam Sunyararas,
“karena setiap darah yang tumpah adalah kehilangan dari tubuh sendiri.”
Malam itu, sebelum meninggalkan istana, ia pergi ke surau kecil di Karangantu. Di sana, ia bersujud lama. Lalu bangkit, menatap bintang, dan berbisik:
“Wahai Tuhan, izinkan aku mendirikan kerajaan yang tak pernah dirobohkan waktu.”
Dengan perahu kecil, ia menuruni Ciujung ke arah timur laut. Air sungai berkilau di bawah rembulan. Setiap kayuhan dayung seperti mengetuk pintu langit.
Di tepi muara, ia melihat hamparan tanah lembap, sunyi, penuh rumput ilalang. Ia menancapkan tongkatnya dan berkata:
“Di sinilah takhta yang kucari.”
Tempat itu kelak disebut Tenara, lalu oleh lidah rakyat menjadi Tanara.
Hari-hari berlalu.
Ia menebang pohon kelapa, mendirikan langgar dari kayu dan rumbia, mengajarkan anak-anak kampung mengeja huruf hijaiyah.
Dua Jenazah, Dua Cermin Bangsa: Refleksi atas Wafatnya Affan Kurniawan dan Prof. Dr. H.M.A. Tihami |
![]() |
---|
Bulan Mulud di Tengah Duka Dunia: Gerhana, Tragedi, dan Cahaya Rasulullah |
![]() |
---|
Viral! Puskesmas Pontang Serang Diduga Tidak Tangani Pasien Anak yang Demam Tinggi |
![]() |
---|
Bupati Serang Zakiyah Janji akan Renovasi Gedung SDN 1 Sukamaju Tanara yang Rusak Parah |
![]() |
---|
PIK 2 Jadi Sponsor Haul Syeikh Nawawi Al-Bantani ke-132, Panitia: Alhamdulillah Kami Berterima Kasih |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.