Suluk Tanara Bagian Kedua: Darah yang Menulis dan Rahim dari Cahaya

Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas

Editor: Abdul Rosid
Dok/Pribadi
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama. 

Malam-malam di Tanara selalu hening, hanya suara sungai Ciujung yang mengalir pelan.
Di sanalah Siti Zubaedah menimang Nawawi kecil, melantunkan ayat dengan suara lirih:

“Rabbi hab lī minash-ṣāliḥīn…”
(Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang saleh.)

Ia tak pernah menulis kitab,tapi dari rahimnya lahir ulama yang menulis ratusan kitab.

Ia tak pernah mengangkat senjata, tapi dari air susunya mengalir keberanian yang menaklukkan zaman.

Ketika Nawawi kecil mulai lelah membaca, ia mengelus kepala anaknya dan berbisik lembut:

“Ilmu adalah darah, Nak. Dan darahmu mengandung jihad.”

Kalimat itu kelak hidup di setiap kitabnya, menjelma dalam huruf-huruf Arab yang ditulisnya dengan air mata dan rindu pada Tanara.

Nur yang Menurun

Darah Syekh Ciliwulung tak pernah padam.
Ia menjelma dalam kesabaran Siti Zubaedah mendidik anaknya, menjelma dalam kesungguhan Syekh Sahal Lopang menanam ilmu, dan berpuncak dalam pena Syekh Nawawi al-Bantani yang menulis ilmu untuk dunia.

“Para syuhada menanam pohon darah,
para ulama menumbuhkannya menjadi pohon ilmu.”

Dan dari akar darah itu, Tanara tetap hidup:
tanahnya berisi doa, airnya berisi ayat,
dan anginnya membawa nama-nama yang tak lekang oleh waktu, Ciliwulung, Ules, Dana, Ikram, Syu‘aib, Zubaedah, Sahal, Nawawi.

Satu garis.
Satu nur.
Satu zikir panjang yang tak berhenti di makam.

“Dan setiap kali seorang santri membaca satu huruf dari kitab Syekh Nawawi, sesungguhnya di langit Tanara terdengar gema takbir dari darah para syuhada yang telah menjadi cahaya.”

Demikianlah Suluk Tanara Bagian Kedua,
kisah tentang darah yang menulis dan rahim yang melahirkan cahaya.

Dari medan perang Tirtayasa hingga pelukan ibu di Tanara, semuanya satu ayat panjang yang berbunyi:

 “Dari jihad lahir ilmu, dan dari ilmu lahir generasi yang melanjutkan jihad.”

Sumber: Tribun Banten
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved