Suluk Tanara Bagian Kedua: Darah yang Menulis dan Rahim dari Cahaya
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas
Penulis adalah Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.
TRIBBANTEN.COM - “Darah para wali tidak pernah kering;
ia hanya bersembunyi di tubuh para ulama.”
Langit Banten sore itu redup.
Kabut mengambang di atas rawa Tanara, dan angin dari laut utara membawa sisa bau mesiu yang sudah lama padam.
Namun di bawah tanah ini, darah para syuhada masih berdenyut, darah mereka yang gugur ketika negeri ini masih bernama kesultanan, dan zikir masih menjadi bahasa perang.
Dari segala nama yang harum dalam sejarah itu, satu nama terus disebut dengan takzim oleh orang-orang tua Tanara:
Baca juga: Suluk Tanara: Rantai Nur di Dada Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Ciliwulung, waliyullah, senapati kesultanan, sekaligus penjaga nur keislaman di masa Sultan Agung Tirtayasa.
Ulama Senopati Kesultanan Banten
Syekh Ciliwulung lahir dengan nama Raden Wiranegara, putra Raden Kenyep Arya Wangsakara, penguasa Tangerang yang saleh dan bijaksana,
dan Ratu Maimunah binti Tubagus Idham, keluarga besar kesultanan Banten yang tinggal di Cakung, Kresek, wilayah Gunungkaler sekarang.
Sejak kecil, Wiranegara hidup di bawah asuhan kakeknya, Tubagus Idham, seorang ulama yang mendidiknya menjadi santri sekaligus satria.
Di siang hari ia belajar tafsir dan fiqh, di malam hari ia belajar menunggang kuda, memanah, dan menulis strategi perang di atas kulit pohon kelapa.
“Jadilah wali yang mampu menunggang kuda,” pesan kakeknya.
“Karena zikir pun butuh perisai.”
Dari tangan sang kakek, Wiranegara mewarisi dua pusaka: ilmu syariat dan ilmu keprajuritan.
Keduanya kelak menyatu dalam satu jiwa yang teguh, senopati yang bersujud di atas pelana kuda.
Dari Cakung ke Laut Tirtayasa
Ketika dewasa, Wiranegara mengabdikan diri sebagai prajurit laut kesultanan Banten.
Keberaniannya di samudera membuatnya dikenal hingga ke pelabuhan Karangantu, dan Sultan Agung Tirtayasa menganugerahinya gelar Senapati Ciliwulung, karena dari sungai itulah ia pertama kali menumpas perompak yang mengganggu kapal dagang umat Islam.
Ketika perang reda, Senapati Ciliwulung kembali ke pesantrennya di Cakung, mengajar santri-santrinya ilmu tauhid, fiqh, dan strategi. Ia selalu berkata kepada muridnya:
“Jihad bukan hanya di medan perang.
Menulis ayat dengan hati bersih pun bagian dari pertempuran.”
Setia disaat Pengkhianatan
Ketika banyak bangsawan dan panglima berkhianat, berpihak kepada Sultan Haji yang menggandeng Belanda melawan ayahnya sendiri, Senapati Ciliwulung tetap setia kepada Sultan Agung Tirtayasa.
Ia memimpin pasukan di sepanjang Tirtayasa hingga Binuang dan Tangerang, menjaga jalur Tanara agar tak direbut musuh.
Dalam perang terakhir, pasukan Belanda datang dari Batavia.
Tanara menjadi medan tempur terakhir Kesultanan Banten.
Ciliwulung berdiri di barisan depan bersama Senapati Pangeran Ingayuda Singalaras, putra Sultan Tirtayasa.
Mereka menggelorakan semangat perang sabil kepada para prajurit yang tinggal sedikit.
Takbir menggema, bersahutan dengan dentuman meriam.
Pertempuran itu berlangsung sengit dan berdarah.
Namun ketika jumlah pasukan Belanda kian banyak dan senjata mereka kian canggih, satu demi satu prajurit Banten gugur menjemput syahid.
Dan di antara yang terakhir berdiri ialah dua singa utama Tanara: Pangeran Ingayuda dan Senapati Syekh Ciliwulung Wiranegara.
Keduanya syahid dalam takbir dan cahaya, pada hari Sabtu Wage, 26 Dzulhijjah 1093 H / 26 Desember 1682 M, sebagaimana tercatat dalam arsip keariyaan Tangerang di Grendeng.
“Mereka gugur di Tanara,” tulis catatan tua itu,
“dengan wajah tersenyum, dan darah mereka berbau kasturi.”
Darah yang Berbuah
Darah yang tumpah di Tanara itu tak pernah lenyap.
Ia mengalir ke dalam nadi para cucu dan cicit Syekh Ciliwulung, berubah menjadi ilmu, menjadi kesabaran, menjadi api kecil yang kelak menyala di dunia Islam.
Salah satu cucunya adalah Kiai Ules, putra Kiai Dana bin Kiai Ikram bin Syekh Syu‘aib bin Raden Wiranegara (Syekh Ciliwulung), seorang ulama dan tokoh Tanara yang dikenal teguh, arif, dan dermawan.
Dari garis nasab inilah kelak lahir Siti Zubaedah, rahim yang melahirkan cahaya.
Siti Zubaedah: Rahim dari Cahaya
Beberapa generasi setelah dentum bedil Tirtayasa reda, lahirlah Siti Zubaedah binti Kiai Ules bin Kiai Dana bin Kiai Ikram bin Syekh Syu‘aib bin Raden Wiranegara (Syekh Ciliwulung).
Dalam riwayat lain, beliau juga dikenal sebagai Siti Zubaedah binti Muhammad Singaraja, karena garis keluarganya bersatu dalam satu jalur ulama Tanara yang menjaga darah Ciliwulung.
Nasab ini menjadikan Zubaedah bukan hanya perempuan salehah, melainkan warisan hidup dari dua kekuatan Banten: keberanian para senapati dan keteduhan para ulama.
Ayahnya menjaga garis ilmu dan kehormatan, ibunya menjaga kesucian rumah dan hati.
Sejak kecil, Zubaedah tumbuh di rumah yang separuh surau, separuh medan perjuangan.
Ia terbiasa mendengar ayat Yā Sīn bersahut dengan kabar gugurnya para pejuang dari muara Ciujung.
Dinding rumahnya menjadi saksi: ada doa dan air mata yang menetes dalam satu waktu.
Wajahnya teduh, tutur katanya lembut, namun matanya menyala seperti bara di bawah abu.
Dalam darahnya mengalir keberanian Syekh Ciliwulung, dan kelembutan para istri para wali.
Ketika dewasa, ia dinikahkan dengan KH. Umar bin ‘Arabi, ulama muda Tanara, keturunan Sunan Sunyararas, pangeran zuhud yang menolak tahta untuk menanam ilmu di tepi sungai.
Hari itu, orang-orang tua duduk di serambi dan berbisik:
“Itu pertemuan dua sungai:
satu mengalir dari ilmu,
satu mengalir dari darah syuhada.”
Dan dari pertemuan dua sungai itu,
lahirlah seorang anak lelaki yang kelak menulis ratusan kitab,
mengajarkan dunia tentang Banten dan Islam,
dan menyalakan dunia dari Makkah:
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.
Ibu yang Mendidik dengan Zikir
Malam-malam di Tanara selalu hening, hanya suara sungai Ciujung yang mengalir pelan.
Di sanalah Siti Zubaedah menimang Nawawi kecil, melantunkan ayat dengan suara lirih:
“Rabbi hab lī minash-ṣāliḥīn…”
(Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang saleh.)
Ia tak pernah menulis kitab,tapi dari rahimnya lahir ulama yang menulis ratusan kitab.
Ia tak pernah mengangkat senjata, tapi dari air susunya mengalir keberanian yang menaklukkan zaman.
Ketika Nawawi kecil mulai lelah membaca, ia mengelus kepala anaknya dan berbisik lembut:
“Ilmu adalah darah, Nak. Dan darahmu mengandung jihad.”
Kalimat itu kelak hidup di setiap kitabnya, menjelma dalam huruf-huruf Arab yang ditulisnya dengan air mata dan rindu pada Tanara.
Nur yang Menurun
Darah Syekh Ciliwulung tak pernah padam.
Ia menjelma dalam kesabaran Siti Zubaedah mendidik anaknya, menjelma dalam kesungguhan Syekh Sahal Lopang menanam ilmu, dan berpuncak dalam pena Syekh Nawawi al-Bantani yang menulis ilmu untuk dunia.
“Para syuhada menanam pohon darah,
para ulama menumbuhkannya menjadi pohon ilmu.”
Dan dari akar darah itu, Tanara tetap hidup:
tanahnya berisi doa, airnya berisi ayat,
dan anginnya membawa nama-nama yang tak lekang oleh waktu, Ciliwulung, Ules, Dana, Ikram, Syu‘aib, Zubaedah, Sahal, Nawawi.
Satu garis.
Satu nur.
Satu zikir panjang yang tak berhenti di makam.
“Dan setiap kali seorang santri membaca satu huruf dari kitab Syekh Nawawi, sesungguhnya di langit Tanara terdengar gema takbir dari darah para syuhada yang telah menjadi cahaya.”
Demikianlah Suluk Tanara Bagian Kedua,
kisah tentang darah yang menulis dan rahim yang melahirkan cahaya.
Dari medan perang Tirtayasa hingga pelukan ibu di Tanara, semuanya satu ayat panjang yang berbunyi:
“Dari jihad lahir ilmu, dan dari ilmu lahir generasi yang melanjutkan jihad.”
Suluk Tanara: Rantai Nur di Dada Syekh Nawawi al-Bantani |
![]() |
---|
Pohon Kelapa dari Langit Tanara |
![]() |
---|
Dua Jenazah, Dua Cermin Bangsa: Refleksi atas Wafatnya Affan Kurniawan dan Prof. Dr. H.M.A. Tihami |
![]() |
---|
Bulan Mulud di Tengah Duka Dunia: Gerhana, Tragedi, dan Cahaya Rasulullah |
![]() |
---|
Viral! Puskesmas Pontang Serang Diduga Tidak Tangani Pasien Anak yang Demam Tinggi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.