Bagian V: Perantau Langit
Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan
Sejak malam itu, namaku mulai disebut dalam halaqah-halaqah kecil di Makkah.
Para penuntut ilmu memanggilku dengan gelar yang terasa terlalu berat:
Al-‘Allāmah an-Nawawi al-Bantani.
Aku mengajar dengan izin guru, menyalin pelajaran dari kitab, dan setiap kali membuka lembar baru, aku teringat wajah ibuku di Tanara.
“Ilmu adalah darahmu, Nak.
Dan darahmu mengandung jihad.”
Kata-kata ibuku seperti hidup kembali di antara bisik-bisik doa para penuntut ilmu.
Namun, setiap cahaya selalu menimbulkan bayangan.
Dan di balik keberkahan ijazah itu, aku mulai mencium aroma ujian yang lain, aroma iri, dengki, dan fitnah yang kelak mengubah seluruh jalan hidupku.
Fitnah dan Pengusiran
Sejak malam aku menerima ijazah dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, hidupku berubah seperti langit setelah hujan.
Orang-orang mulai berdatangan, dari Yaman, Mesir, India, dan Jawi, mereka duduk di sekelilingku, meminta tafsir dan penjelasan atas kitab-kitab besar yang dulu hanya kubaca dengan kepala tertunduk.
Aku mengajar bukan karena merasa mampu, tapi karena aku tak sanggup menolak amanah.
Setiap kalimat yang keluar dari bibirku, aku rasakan seperti aliran air yang bukan milikku sendiri, seperti ada tangan yang menuntun dari balik langit.
Namun di balik lingkaran murid-murid yang mencatat dengan mata berkilat, ada juga mata-mata lain yang tak mencatat, hanya menatap tajam dari kejauhan.
Mula-mula mereka berbisik, lalu mulai menyebar cerita:
“Si pemuda dari Banten itu sombong.”
“Ia ingin menyaingi guru-gurunya.”
“Ia terlalu cepat mengajar, terlalu berani memberi fatwa.”
Aku diam.
Karena aku tahu, tidak semua bisik perlu dijawab.
Tetapi seperti angin yang membawa debu, fitnah itu perlahan menutupi cahaya yang kubangun dengan susah payah.
Suatu sore, seorang utusan datang dengan langkah berat.
Ia membawa kabar yang menyesakkan dada: aku diminta meninggalkan Makkah sementara waktu, karena beberapa guru tua merasa “tak nyaman” dengan kehadiranku yang dianggap terlalu menarik murid.
Aku menatap langit, matahari condong ke barat, bayangan Ka‘bah memanjang seperti tangan yang ingin memelukku tapi tak kuasa.
“Jika ini kehendak Allah,” bisikku pelan,
“maka setiap langkah keluar dari Makkah pun adalah bagian dari jalan menuju-Nya.”
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan memanggilku diam-diam malam itu.
Beliau duduk lama tanpa bicara.
Aku menunduk, menunggu, hingga akhirnya suaranya keluar pelan, berat seperti doa yang tertahan air mata:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.